"Hannan, lo dipanggil Mr. Dhoni!" seru seorang perempuan teman sekelas Hannan yang baru saja masuk ke dalam kelas.
Si pemilik nama yang tengah tidur tiba-tiba terbangun dengan wajah yang tidak bersahabat.
"Ck! Belum puas dia ngeliat gue di rumah" ujar Hannan pada Jarrel yang terkekeh geli melihat sahabatnya yang sangat malas untuk beranjak.
Lelaki itu berjalan dengan langkah berat menuju ruang guru. Kenapa lagi coba wali kelasnya memanggil disaat ia tengah enak-enaknya mimpi jadi pacar Vanesha Prescilla.
Begitu sampai, Hannan langsung duduk di hadapan wali kelasnya yang sudah menunggu. "Kenapa, Bro?" tanya nya dengan santai bak kawan dekat.
"Ini sekolah, Nan, jangan kurang ajar," balas Dhoni dengan wajah galaknya.
"Siap, Mister," jawab Hannan langsung merubah gaya duduknya dengan sedikit lebih sopan.
"Nilai kamu anjlok banget, Nan. Maman bingung gimana lagi nambahnya," ujar Dhoni memijat pelipisnya yang berdenyut nyeri.
"Katanya, sekolah, Nan, jangan kurang ajar. Mister sendiri ngomongnya kayak lagi di rumah. Nggak jelas nih Om-om," sahut Hannan kembali duduk santai.
"Udah ngomong biasa aja. Nggak ada murid lain, guru juga cuma Miss Rona," jawab Dhoni melirik ruang guru yang sepi. Iya, karena sepi lah Hannan berani menyapa wali kelasnya dengan tidak sopan.
"Oke, Dhon," jawabnya sembari mengacungkan jempol.
"Gua gebuk lu ya?!" sahut pria itu ancang-ancang menggeplak kepala Hannan.
"Om, santai Om!"
Sedikit informasi, Hannan adalah keponakan Dhoni. Guru bahasa Inggris sekaligus wali kelas itu adalah adik dari ayah Hannan. Beliau yang kerap disapa Maman oleh Helia dan Hannan diminta untuk tetap tinggal di rumah si kakak agar istrinya bisa membantu bunda dalam urusan rumah.
"Jadi gimana nih? Nilai kamu mau diapain? Maman pusing!" seru Dhoni kembali memijat pelipisnya.
"Masa sih turun? Aa kan pinter?" jawabnya skeptis. Hannan memang cukup pintar dalam belajar, tapi itu hanya saat ia tekun. Jika sedikit saja ia lengah, maka semua pelajaran yang ada di kepalanya akan hilang begitu saja.
"Kamu udah mulai main-main lagi. Ayolah, A, jangan balik kayak dulu lagi. Mata kamu gapapa, 'kan?" bujuk Dhoni sedikit mengungkit masa lalu. Dulu juga sempat nilai Hannan menurun, bahkan lebih drastis dari ini. Bunda bahkan sampai harus melakukan beberapa tes psikologi terhadap anaknya sendiri. Namun yang terjadi kala itu hanyalah Hannan yang sulit berkonsentrasi karena Ambliopia nya.
Hannan sedikit berkedip demi memastikan kesehatan matanya. Namun tidak ada yang salah. Ia bahkan sudah terbiasa dengan beberapa warna yang tidak ada di penglihatannya. "Nggak apa-apa tuh?" katanya.
"Terus? Kamu kenapa?" tanya Dhoni lagi.
"Gapapa, Man. Emangnya Aa harus stabil terus? Nggak bisa, Aa juga capek!" balas Hannan sedikit serius.
"Tapi kalau begini, kamu nggak akan bisa ikut ujian akhir. Kamu tau standar ujian akhir itu harus punya nilai tinggi."
"Iya-iya, Aa tau. Tapi ya udah lah, nggak ada juga hanya harus Aa kejar kecuali Summer," timpalnya sedikit bercanda. Tapi memang benar. Jika ditanya apa tujuan hidupnya, Hannan hanya akan menjawab "Jadi pacar Summer." Entah itu jawaban yang serius atau memang ia tidak punya tujuan yang pasti saja. Namun jika dibiarkan begini terus, Hannan tidak akan punya masa depan yang jelas.
"Aa," panggil Dhoni setelah lama diam.
"Hmm?" jawabanya masih santai.
"Kamu punya mimpi nggak sih? Punya cita-cita, nggak? Punya tujuan hidup, nggak? Ayah menteri pendidikan, Bunda psikolog, Teteh calon bidan, Maman guru, tapi kok bisa kamu badung begini sih? Apa yang kamu cari? Jati diri? Omong kosong!" serbu Dhoni membuat Hannan terdiam. Ini salah satu hal kenapa Hannan kadang berbuat nakal dan seenaknya. Ia selalu dibanding-bandingkan, ia hanya ingin jadi diri sendiri. Nakal atau baik, sukses atau gagal, pembuat onar atau kutu buku, itu urusannya. Orang lain tidak perlu ikut campur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nabastala ke Tujuh
FanfictionTerinsipirasi dari "Private school check!" Ini kisah dua belas remaja dalam perjalanan asmara masa muda, yang entah bisa selamanya atau hanya sementara saja. Jangan lupa tinggalkan jejak teman :) ©sshyena, 2020