Bunyi kerincing yang ada di atas pintu tak membuat gadis belia ini terganggu. Matanya fokus pada kertas-kertas struk dan laptop yang menampilkan sejumlah angka. Hari Minggu yang biasanya dimanfaatkan anak-anak remaja untuk bermain dan liburan, dimanfaatkannya untuk membantu mama mengurus Bakery.
"Permisi, mau ambil birthday cake atas nama Yara," suara itu akhirnya membuat ia menolah. Pria tinggi berkemeja hitam dan rambut rapi berdiri di depan mejanya.
"Eh, Jarrel?" katanya mengenali si pemuda.
Jarrel tersenyum, "Hai, Gemmi," sapanya.
"Hai, eh, mau ambil apa tadi? Birthday cake ya? Sebentar gue liat ke belakang," katanya kemudian pergi meninggalkan meja kasir. Diam-diam, senyum Jerrel terpatri jelas. Belakangan ia sering memperhatikan gadis itu. Entah apa urusannya, tapi Jarrel senang melihat raut serius Gemmi.
"Ini," katanya kembali membawa sekotak kue yang dipesan Jarrel.
"Ini pelunasan cake-nya, yang ini cafe latte," Jarrel menyerahkan beberapa uang 50 ribu dan selembar 50 ribu lainnya secara terpisah.
"Oke, gue pesenin ke barista dulu," katanya membuat struk dan mengembalikan kembalian uang Jarrel.
Setelah mendapat struk, uang kembalian serta kue nya, Jarrel mengambil tempat duduk di dekat meja kasir. Ini pertama kalinya ia mampir ke bakery mama Gemmi. Bahkan yang memesan kue itu saja Yara-ibunya-yang memesan langsung dengan Jenna-ibu Gemmi-lewat whatsapp. Interior bakery ini sangat minimalis. Kue-kue cantik terpajang rapi di dalam meja kaca. Di sebelahnya ada area kopi dan minuman lain. Tak hanya itu, di tengah-tengah ada sebuah meja panjang yang menyajikan seluruh roti rotian berbagai rupa. Wanginya garing, manis, asin dengan dominasi vanila dan mentega.
Tak lama, gadis itu muncul kembali dengan membawa nampan berisi cafe latte yang dipesan Jarrel. Ia sajikan kopi itu pada teman sekelasnya dan ikut duduk di depan dia.
"Siapa yang ultah?" tanya Gemmi menumpu dagu. Menatap Jarrel yang sibuk menyesap minumannya.
"Bokap," katanya setelah meletakkan kembali gelas itu di meja.
Gemmi mengangguk paham. Bakery tidak terlalu ramai, pun karyawan mamanya lengkap hadir semua. Jadi ia bisa sedikit bersantai dan berbincang dengan si ketua kelas IPA 1.
"Sebenarnya sih, Bokap nggak suka acara acara surprise begini. Tapi yang gue kagum dari Mama, belau selalu aja ngasih kue lengkap sama lilin. Padahal ujung-ujungnya juga cuma dibalas makasih terus beliau masuk lagi ke ruang kerja," Jarrel menatap kue ulang tahun yang terdapat tulisan 'Happy Birthday Papa' itu dengan kasihan.
"Tante Yara cinta nya nggak main-main, ya?" imbuh Gemmi menyimak cerita Jarrel.
Pemuda itu mengangguk. Ia tau seluas apa kasih sayang yang mama beri untuk papa. Meski balasannya selalu tak sesuai dengan harapan karena Abimana terlalu kaku dan dingin bahkan dengan istrinya sendiri. Bukan tanpa alasan, hanya saja sifatnya memang begitu. Tapi Jarrel bisa merasakan bahwa cinta yang papa berikan juga sama besarnya dengan mama. Penyampaiannya saja yang kurang tepat. Pada anak-anaknya pun sama. Beliau keras dan tegas dalam mendidik Jarrel dan Damian. Tujuannya bagus, agar anak-anaknya bisa bersikap disiplin. Lagi pula mereka bedua laki-laki, harus tahan banting.
"Kalau gue nanti jadi Ayah, gue nggak mau jadi kayak bokap. Gue nggak mau peran ayah yang gue ambil jadi se-freak itu," sambungnya menerawang minuman yang tersisa setengah itu.
"Gue juga. Gue nggak mau jadi kayak nyokap," timpal Gemmi ikut terbawa oleh atmosfer yang dibawa Jarrel.
"Kenapa?" setau dia, Jenna ibu yang baik dan pengertian. Ia bahkan selalu diperlakukan sebaik Gemma. Padahal Jarrel hanya anak dari sahabat Jenna semasa SMA.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nabastala ke Tujuh
FanfictionTerinsipirasi dari "Private school check!" Ini kisah dua belas remaja dalam perjalanan asmara masa muda, yang entah bisa selamanya atau hanya sementara saja. Jangan lupa tinggalkan jejak teman :) ©sshyena, 2020