"Satu mangkok bakso, satu mangkok mi ayam!" uap panas dari dua mangkok ayam itu menyapa wajah mereka.
"Makasih, Mang," ucap si pemuda yang punya ide untuk makan di sini.
"Mangga..."
Keduanya mulai menikmati pesanan masing-masing. Gemmi dengan mi ayamnya sedang Jarrel dengan baksonya. Belum ada yang buka suara. Sejak mereka tiba pun, Gemmi sibuk bermain ponsel. Sebenarnya, ia sudah ingin menjauh dari Jarrel. Tapi bodoh sudah jadi peliharaan, ia justru mengangguk saat si brengsek menawarinya untuk ikut makan mi ayam.
"Mi," panggil Jarrel akhirnya.
"Hm?" balas gadis itu hanya berdehem karena mulutnya sibuk mengunyah.
"Besok mau nemenin gue, nggak?" sambungnya masih dengan tangan yang sibuk meracik kuah bakso.
"Ke mana?" Gemmi tak menoleh, namun dalam hati ia akan memantapkan diri bahwa jawaban yang akan keluar nanti adalah kata tidak.
"Ke toko buku. Ada buku yang mau gue cari."
Gadis itu diam. Ia meletakkan sumpitnya kemudian menatap Jarrel yang sudah hendak mulai makan. Pemuda itu nampak tak berdosa saat mengajaknya pergi berdua disaat hubungan mereka di atas ambang ketidakjelasan. Entah itu teman atau sedang dalam tahap pendekatan. Sikap dan sifat Jarrel sama sekali tidak bisa Gemmi terka. Laki-laki itu terlalu sulit untuk Gemmi pahami karena sejak awal pun Jarrel tak pernah mengutarakan maksudnya.
"Jar," panggilnya masih dengan mata yang tak lepas dari lawan bicaranya. Dipanggil, Jarrel Aribi menoleh.
"Lo anggap gue apa sih?" Pertanyaan itu keluar juga. Berhari-hari Gemmi mencari jawabannya sendiri. Namun Jarrel terlalu sulit ia mengerti.
"Mak-sud-nya?" Jarrel tergugu.
"Minggu lalu lo menawarkan gue untuk jadi tempat lo pulang. Lo datang seolah ngasih harapan dan keyakinan kalau gue juga bisa punya impian terhadap pasangan. Tapi belum seminggu, lo hilang. Kembali jadi Jarrel yang sebelumnya gue kenal sebagai manusia dingin. Dan sekarang, lo balik lagi. Seolah gue nggak masalah sama sikap lo yang berubah-ubah. Gue bingung, Jar," semua kegelisahannya tersampaikan juga. Saban hari Gemmi merasa bingung dengan Jarrel. Namun pemuda itu justru santai bolak-balik datang dan pergi sesuka hati tanpa memikirkan konsekuensi.
Sama seperti Gemmi, Jarrel meletakkan sendok dan gapunya. Ia berdehem sejenak karena tidak menyangka akan diserang begitu oleh Gemmi. Ya, sebenarnya ada yang ingin ia bahas juga dengan gadis ini. Hanya saja, mendadak ia ragu.
"Mi, gue juga bingung harus mulai jelasin dari mana. Entah perasaan gue, atau keadaan yang harus gue hadapi. Tapi satu hal yang jelas, sekarang bukan waktunya. Gue nggak bisa ngasih lo kejelasan bahkan tujuan dalam hubungan ini. Gue bahkan masih ragu, apa pilihan yang gue ambil ini benar atau salah. Tapi Mi, kalau gue minta lo untuk menunggu sedikit lebih lama aja, lo bersedia nggak?" Jarrel meraih tangan Gemmi dan meminta sedikit pengertian untuknya. Namun gadis itu justru buang muka menyembunyikan lukanya yang nyaris jatuh berceceran. Jarrel sendiri bingung dengan dirinya. Lantas, bagaimana dengan Gemmi yang terlalu sering dipatahkan oleh cinta?
"Brengsek."
✧
Wangi semerbak memenuhi dapur keluarga Shankara. Tenang, ini bukan wangi gas busuk seperti waktu itu. Ini wangi sedap dari bumbu mi yang sedang dimasak oleh Hannan. Tadi ia sudah makan malam bersama Ayah, Bunda, Teteh, Paman, Bibi serta adik sepupunya. Tapi dua jam kemudian kembali lapar. Jadi ia memutuskan untuk memasak mi. Kebetulan Ayah dan Bunda tidak ada di rumah, jadi ia tidak akan dimarahi Karena lagi-lagi makan mi instan.
Setelah mi nya jadi, pemuda Shankara itu menyajikannya di meja makan lengkap dengan sumpit serta air minum. Sebelum makan, alangkah baiknya ia mencuci kuali yang telah ia gunakan terlebih dahulu. Daripada ia dibantai Bunda karena sudah mengacaukan dapurnya, labih baik ia bereskan sebelum Bunda pulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nabastala ke Tujuh
FanfictionTerinsipirasi dari "Private school check!" Ini kisah dua belas remaja dalam perjalanan asmara masa muda, yang entah bisa selamanya atau hanya sementara saja. Jangan lupa tinggalkan jejak teman :) ©sshyena, 2020