Rintik Di Atas Kepala

1.6K 254 21
                                    

Hujan deras mengguyur kota Jakarta sejak siang tadi. Lantai koridor sedikit basah karena tempias rintik yang jatuh dari atap. Suhu rata-rata turun dan membuat seluruh siswa memakai jaket atau sweater untuk menghangatkan tubuh. Sama halnya seperti Celin. Gadis yang selalu menyimpan sweater nya di dalam loker itu sedang berdiri di koridor menunggu jemputannya datang. Hujan adalah hal yang paling Celin benci. Ia benci kebasahan, ia juga tidak suka saat air genangan itu mengotori sepatunya. Namun sial, musim pelan-pelan sudah mulai berganti jadi musim penghujan. Membuat mood-nya sering berubah-ubah karena cuaca yang sulit di prediksi.

Gadis itu mendengus sekali lagi. Sudah tiga puluh menit dari panggilannya bersama si sopir. Namun mobilnya belum tampak juga. Apa pria paruh baya itu terjebak macet? Atau ada kendala di jalan?

Bunyi ponsel membuat Celin buru-buru melihat. Benar, itu panggilan dari sopir pribadinya. Langsung saja Celin angkat untuk tahu kabar terkini.

"Di mana sih, Pak? Lama banget!" serbu Celin begitu panggilan itu terhubung.

"Maaf, Non, anu, saya masih kejebak macet. Kayaknya mah ada kecelakaan di depan," kata beliau dengan gugup. Takut semakin di amuk oleh atasannya.

"Terus gimana dong? Celin tinggal sendirian di sini! Sekolah udah sepi banget!"

"Maaf, Non, maaf. Tapi ini mobilnya nggak gerak sama sekali. Mau putar balik juga nggak bisa, jalanan terlalu padat."

Celin sudah tidak tahu lagi harus apa. Hari semakin gelap, sekolah pun satu per satu mulai ditinggalkan siswa. Tahu begini, ia ikut Kalea pulang saja. Biarlah dia terjebak di rumah Kalea daripada di sekolah sendirian.

"Ya udah deh, mau gimana lagi. Tapi nanti kalau udah keluar dari macet, secepatnya ke sini ya, Pak. Celin udah sendirian."

Setelah mendengar jawaban dari sopir pribadinya. Celin menutup panggilan itu dengan rupa super kusut. Suhu dingin semakin membuatnya benci dengan hujan. Belum lagi petir yang datang sesekali. Langit sudah sangat gelap dan waktu terus berjalan. Celin berpikir, dari sekian banyak hari sial ulah dari Cedric, masih lebih sial musim penghujan. Sumpah demi kulit kerang ajaib, Celin benci musim itu.

Mobil guru satu per satu terlihat pergi meninggalkan sekolah. Bahkan ada yang dengan kecepatan tinggi. Seolah-olah tidak ingin terus berlama-lama di sana. Namun ada satu mobil yang bukannya berjalan keluar gerbang, justru berhenti di depannya. Ferrari 599 GTO itu mengeluarkan seorang laki-laki berseragam dengan payung hitam di tangan. Sepatunya yang kering jadi basah karena genangan air. Sedang wajah yang sejak kemarin tak ia lihat itu mendadak muncul dengan datar seperti biasanya. Cedric. Apa yang akan dia lakukan sekarang?

Pemuda itu berjalan mendekatinya. Dengan payung yang masih setiap di atas kepala padahal ia sudah tidak lagi kehujanan karena terlindung oleh atap, ia berdiri di hadapan Celin.

"Ayo bareng gue," katanya dengan intonasi yang...sedikit dingin, barangkali?

"Gue dijemput," jawab Celin tak kalah dingin.

Apa-apaan tunggal Ghazanvar ini? Setelah menyatakan suka, tidak muncul dua hari, lalu mendadak datang menawarkannya pulang bersama? Yang benar saja?!

"Ada yang mau gue omongin," sambungnya.

Celin menatap Cedric. Mata mereka saling beradu namun tak mengisyaratkan apa-apa. Saling melempar tatapan yang tidak bisa diterjemahkan secara harfiah. Hanya mereka berdua saja yang tahu maknanya apa. Ini bukan tatapan permusuhan yang biasa mereka berdua tunjukkan. Ini lebih rumit dari itu.

Nabastala ke TujuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang