Sepi. Seperti biasa. Laki-laki itu duduk di sebelah makam yang bertuliskan nama Bunda pada batu nisannya. Pagi ini sebelum berangkat sekolah, Zacky menyempatkan diri untuk mengunjungi Bunda. Makam ini terlihat sangat bersih, itu karena Jaemin sering mampir untuk sekedar menyapa Bunda lalu pulang. Dan dua hari lalu ia baru saja ke sini, tapi hari ini ia sudah kembali lagi disaat mata hari belum menampakkan diri sepenuhnya.
"Bun, Nana berantem lagi sama Papi," ujar Zacky memulai pembicaraannya dengan Bunda.
Lelaki itu tersenyum sumir kemudian mengusap lembut nisan Bundanya.
"Sering banget, Bunda juga pasti bosen dengernya. Setiap datang pasti ngadunya itu terus," sambung Zacky masih setia di tempatnya.
"Bun," panggil laki-laki itu sekali lagi.
"Nana jahat, ya?" tanyanya dengan kedua mata yang mulai digenangi air.
"Bunda pasti kecewa banget sama Nana. Padahal Bunda selalu bilang Nana harus jadi anak baik, nurut sama Papi, jangan melawan omongan Papi. Tapi kenyataanya Nana nggak pernah mau dengerin Papi." Satu tetes air itu jatuh begitu saja. Membuat hatinya jadi merasakan luka yang tak biasa.
"Nana nggak pernah mau ngertiin Papi. Nana selalu mikir kalau Papi itu egois. Nana selalu kecewa sama Papi, padahal Papi cuma mau Nana nggak merasa kehilangan Bunda," kini isaknya terdengar. Tak keras namun membuat dadanya sedikit sesak.
"Maafin Nana, Bun. Maaf selalu bikin Bunda kecewa, maaf udah terlalu egois, maaf Nana nggak bisa sebaik Nabila. Maaf, Bunda."
Jerit tangis di antara temaram fajar itu jadi derau luka kecewa pada sukma yang beranjak dewasa. Karena semua yang ada bukan hanya tentang masa lalu yang tertinggal di belakang, tapi juga masa depan yang terus berjalan. Bahwa untuk ikhlas memang membutuhkan hati yang luas juga lapang. Bahwa kehidupan punya banyak kesempatan untuk mereka yang masih mau meneruskan perjalanan.
✧
Karena mobilnya ditahan Papi, ia harus diantar sopir untuk berangkat sekolah. Setidaknya begitulah niat awalnya pagi ini. Namun niat itu urung setelah ia bicara dengan Bunda. Tujuannya kini malah membawa dia ke sebuah butik gaun pernikahan. Bukan, dia bukan berniat menikahi Lingga atau sekedar mencari referensi gaun untuk pernikahan mereka di masa depan. Sungguh bukan itu. Ini adalah butik Mamanya. Butik yang sudah berdiri bahkan saat Jaemin masih berusia sepuluh tahun.
Lelaki berbulu mata lentik itu memandangi bangunan dengan desain mewah itu. Memperhatikan nama butik yang terpampang jelas di atas sana sebagai identitas Mamanya. Kemudian kakinya kembali bergerak. Membawanya masuk ke dalam ruangan yang didominasi dengan warna putih bersih.
"Selamat datang, ada yang bisa dibantu?" tanya seseorang yang diduga adalah karyawan di butik ini.
"Mau ketemu Tante Denara," jawab Jaemin dengan wajahnya yang datar.
"Maaf, kalau boleh tau Mas ini siapa, ya?" tanya karyawan itu lagi dengan sedikit canggung.
Zacky menghela napasnya menunduk sebentar demi menatapkan hati. Kemudian ia pun menjawab.
"Anak sulungnya."
✧
Bunyi ketukan pintu terdengar tiga kali. Seorang karyawan masuk ke dalam ruang kerjanya. Denara yang saat itu masih sibuk dengan laptop dan kertas-kertasnya tak terlalu menghiraukan karyawannya tersebut.
"Bu, ada yang ingin bertemu," ujar karyawan itu setelah berdiri tepat di sebelah atasannya.
"Siapa?" tanya wanita itu tanpa mengalihkan sedikitpun pandangannya dari layar.
"Anak sulung Ibu," jarinya yang semula sedang sibuk mondar-mandir ke sana kemari itu seketika berhenti. Ia melihat di depan pintu sudah berdiri seorang remaja laki-laki lengkap dengan saragam serta tas sekolahnya.
"Kamu boleh keluar, jangan lupa suruh Jihan bawain minum, ya," balas Denara mempersilahkan karyawannya untuk melanjutkan pekerjaan di bawah.
Denara bangkit dari duduknya kemudian pindah duduk ke sofa yang selalu ia sediakan untuk tamu-tamunya.
"Masuk, Na," ajak Denara dengan senyum yang terpatri di paras cantiknya.
Setelah mendapat persetujuan, Zacky masuk dan menghampiri wanita yang telah jadi Ibunya selama hampir setahun ini.
"Duduk. Ngapain berdiri di situ?" sambung Denara melihat putra sulungnya yang hanya berdiri layaknya patung dalam museum.
Lelaki itu duduk di sebelah Denara yang sebenarnya bingung dengan maksud kedatangan Zacky. Padahal biasanya, bertemu pun ia enggan. Namun hari ini, Zacky malah mendatanginya.
"Ada apa?" tanya Denara dengan nada keibuannya seperti biasa.
Zacky tak langsung membalas. Ia menatap sepatu sekolahnya dengan perasaan gugup luar biasa. Ia bingung harus mulai dari mana, harus dengan apa, juga bagaimana mengatakannya. Semua terlalu canpur aduk di kepala. Bahkan untuk mengeluarkan satu kata saja rasanya terlalu kelu.
Seorang perempuan pertengahan dua puluh masuk dengan nampan berisi dua cangkir teh krisan. Setelah menyajikannya di hadapan si tamu dan atasan, perempuan itu pamit keluar. Zacky masih belum bicara. Bahkan saat Denara sekali lagi memanggil namanya, ia masih enggan buka suara.
"Na, kamu ada masalah?" tanya wanita itu mulai menyentuh bahu Zacky.
"Nana... mau minta maaf," ujarnya sedikit terbata.
"Maaf?" heran Mama tak mengerti maksudnya.
"Maaf selama ini Nana selalu cuekin, Mama. Maaf Nana selalu nyakitin hati Mama. Maaf Nana udah jadi anak sulung yang pengecut. Maaf untuk semua salahnya Nana ke Mama," sambung Zacky dengan air mata yang menetes. Ia tidak bisa menahannya. Sekeras apapun ia mencoba, nyatanya tangis itu jatuh juga.
"Na..." panggil Denara menarik dagu Zacky agar mau menatapnya. Sejak tiba tadi, laki-laki ini tidak menatap matanya sama sekali.
"Nana nggak perlu minta maaf. Mama ngerti kenapa Nana begitu. Mama tau Nana nggak bisa semudah itu buat terima semuanya. Makanya Mama nggak pernah memaksa Nana untuk lebih dekat ke Mama karena Mama tau Nana butuh waktu." Denara menyeka air mata Zacky yang terus-terusan jatuh. Ini kali pertama mereka sedekat ini. Ini kali pertama mereka bicara sepanjang ini. Ini kali pertama mereka saling terpanggil sebagai bagian dari keluarga.
"Nana anak yang berani. Nana anak yang kuat. Nana hebat bisa nanggung semuanya sendiri. Bunda pasti bangga sama Nana," sambung wanita itu hingga membuat tangis Zacky pecah. Itu langsung membuat Denara langsung memeluk anak itu untuk meredakan tangisnya. Sesekali juga menepuk lembut bahu Zacky seperti yang biasa ia lakukan saat Nabila menangis.
Sekarang saatnya bisa bernapas lega. Baik Zacky maupun Denara, mereka telah sama-sama lepas dari sebuah jarak yang bernama asing untuk jadi bagian penting di hidup masing-masing.
Halo! Ketemu lagi hehe. Udah berapa lama ya ga up? Kok rasanya lama banget. Biasalah, mood lagi berantakan. Awokwok
KAMU SEDANG MEMBACA
Nabastala ke Tujuh
Fiksi PenggemarTerinsipirasi dari "Private school check!" Ini kisah dua belas remaja dalam perjalanan asmara masa muda, yang entah bisa selamanya atau hanya sementara saja. Jangan lupa tinggalkan jejak teman :) ©sshyena, 2020