Part 22

23 7 0
                                    

                                   *****

Ardian menatap sedu kearah earline, gadis itu sedang menumpahkan air matanya, deras.
Sungguh, Ardian tidak senang melihat pemandangan didepannya ini.

"Earline jangan menangis.." lirihnya, tangannya baru saja bergerak mengusap pipi earline yang sudah basah dari tadi. Namun, earline menjauh, dan menahan tangan ardian.

"Aku tidak ingin kau membantah perintah kakekmu," ucap earline lagi.

"Maksudku, jika ini memang yang terbaik, aku tidak mau hubungan ini berlanjut," lanjutnya lagi.

Ardian menggelengkan kepalanya cepat, bertanda dia tidak menyetujui ucapan earline. Air mata yang sedari tadi membendung, kini perlahan jatuh bersamaan dengan kata kata earline tadi.

Tidak bisa di pungkiri, ardian mengakui dirinya adalah pria cengeng. Tetapi, dia tidak peduli atas semua itu. Menurutnya sangat wajar, karna dia benar benar tidak ingin kehilangan earline. Gadis itu benar benar sangat berarti dalam hidupnya.

"Earline, rasanya benar benar sakit aku mendengar permintaanmu. Menurutku kau tidak ada bedanya  dengan kakekku," lirihnya lagi.

Earline tersenyum kecut, dan sekali lagi, tangannya terangkat guna menghempaskan air mata yang masih deras mengalir.

"Kakekmu akan sangat membenciku jika kau membantahnya. Mungkin ini yang terbaik untuk kita Ardian. Aku rasa, aku tidak pantas untukmu. Kau adalah seorang CEO, sedangkan aku? Aku gadis lugu dan sederhana," ujarnya masih dengan air mata yang terus mengalir.

"Aku menceritakan ini semua karna aku berharap kau tetap bersamaku dan terus mendukungku. Bukan bersikap seperti kakekku, earline" bantahnya halus.

"Terimalah perjodohan itu, dan jangan membantah kakekmu. Biarkan aku yang mengalah, aku rasa aku lebih kuat untuk menahan rasa sakit, daripada kakekmu. Kasihan dia." 

"Tidak, aku tidak mau!" serunya dengan suara yang sedikit meninggi.

Earline kembali memegang kedua tangan ardian. Pria itu juga terlihat sangat hancur, mungkin melebihi earline.

"Ardian dengarkan aku" ucapnya dan menatapnya begitu dalam.

Ardian melunak, setelah beberapa kali dia mengusap kasar wajahnya. Membuat rambut yang awalnya begitu rapi, kini terlihat berantakan tak tertata.

"Ardian.. Aku mau mengatakan ini padamu, jika tuhan sudah menakdirkan kita bersama, sejauh apapun jarak yang memisahkan, suatu saat akan tetap kembali bersama lagi. Dan satu lagi, ada banyak seseorang di luar sana yang sama seperti kita. Bertahun tahun menjalin hubungan tapi, akhirnya harus berpisah. Karna apa? Takdir tidak menghendakinya. Ikuti alurnya, jangan membantah kakekmu. Jika perjodohan itu bukan yang terbaik, tuhan dengan segera memutuskan itu," nasehatnya .

Keduanya terdiam, saling menatap lekat. Genggamannya kembali begitu erat, air matanya sama sama mengalir, deras.

''Earline.." lirihnya, tanpa pamit dia langsung memeluk erat tubuh kecil itu. Earline tidak membrontak, tidak ada salahnya dia mengizinkan ardian memeluknya untuk terakhir kalinya.

Tidak ada kalimat putus di antara keduanya, hanya saja earline sudah mengatakan itu dengan kata kata samar, namun pasti.

Tidak menyangka, pertemuan dengan ardian malam ini justru menjadi pertemuan terakhir untuknya. Tidak menyangka, jika pada akhirnya semua berakhir seperti ini.

Menjalin hubungan bertahun tahun ternyata tidak menjamin bisa melanjutkan kejenjang yang lebih serius. Earline paham atas hal ini. Dia tidak mau menjadi gadis yang egois, mempertahankan hubungan yang sudah tau satu pihak ada yang begitu tertekan. Bukan tidak ingin berjuang seperti ucapan ardian tadi, namun dia lebih memilih pasrah atas takdir. karna,  Bukan tipe dia berjuang dengan cara menantang orang tua.

Bukan Sekedar IlusiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang