Waktu bisa merubah segalanya, termasuk kepribadian seseorang.
Keadaan yang sedari tadi tegang ini membuat semua orang ciut untuk berucap. Semua orang tertunduk bingung dengan suasana sepi yang mengiringi.
“Gak usah bawa-bawa masalah pribadi ke sekolah!” Seorang pria memecah keheningan yang mencengkram.
Sontak semua mata menatap kearahnya. Dia adalah Andrean.
Sosok itu berdiri tegak namun dengan tatapan dingin. Hal itu mampu membuat semua orang yang menyaksikan tertegun sesaat. Entah apa maksudnya berucap demikian.
Dia berbicara dengan nada tegas namun terlihat acuh akan perkataannya.
Diluar dugaan, Mayhara malah terdiam membisu. Ia bahkan tak berani menatap wajah pria tersebut.
“Kok berasa masuk rumah hantu gue,” bisik seorang gadis kepada temannya. Hanya berbisik bukan berbicara lantang.
Suasana mencengkram yang terjadi beberapa saat lalu kembali seperti biasa karena seseorang. Dengan sosok Mayhara yang tersenyum ke arah Joy yang ada dibelakang Andrean.
Setelahnya ia pergi meninggalkan kerumunan. Sosok Mayhara benar-benar tenggelam diantara keramaian.
“Aku bingung kenapa tadi dia tersenyum,” gumam Ajeng pelan sembari melangkahkan kedua kakinya.
“Hai!” Tiba-tiba seseorang berdiri dihadapannya.
“Boleh kenalan? Ajeng, kan?” Ia bertanya dengan tangan yang terulur.
Ajeng mendongak untuk melihatnya. Dia Joy, temannya Andrean dan Mayhara. Lebih tepatnya senior Ajeng disekolah.
“Ah iya,” jawabnya tersenyum kikuk. Dengan ragu Ajeng membalas uluran tangan tersebut.
Joy membalas senyumnya kemudian berlalu cepat dari hadapannya. “Sangat aneh!” Gadis cantik itu menggelengkan kepalanya tak percaya.
Tak ingin membuat semuanya rumit, ia melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti.
Sesaat setelahnya Ajeng menatap lekat seorang gadis yang tersungkur beberapa meter dari tempatnya berdiri. Ia terjatuh karena tak sengaja menabrak pria yang baru saja berbelok arah.
“Gak punya hati!” Dengan cepat Ajeng berlari mengejar manusia berhati batu itu.
“Ngapain lo ngikutin gue?” Ajeng terkejut ketika pria dihadapannya itu menghentikan langkahnya.
“Gue tanya lo ngapain?” sentaknya masih dengan tangan yang berada dikedua sakunya.
“I..tu, tadi kenapa gak minta maaf?” ucap Ajeng sedikit gugup.
“Lo aja udah gak berani ngomong, jadi gak usah so nolongin orang!” jawabnya santai dan kembali berbalik.
Namun, perjuangan Ajeng tak berakhir disini. Tangannya bergerak untuk menahannya pergi. Lelaki jangkung itu pun terdiam. Ia kembali menghadap gadis yang mencoba mencegahnya pergi.
“Emang lo maunya apa?” tanyanya to the point.
“Kak Andre harus minta maaf,” jawab Ajeng ragu. Takut ditolak mentah mentah olehnya.
“Tumben pake embel kakak?” Pertanyaan yang sangat menusuk. “Malu banget,” batinnya merutuk.
“Maksudnya?” Ajeng bertanya dengan ekspresi wajah polos seolah tak tau apapun.
Dia hanya tersenyum lalu meraih tangan Ajeng dan berjalan kembali ketempat sebelumnya.
“Mau kemana, kak?” Lagi lagi Ajeng melontarkan pertanyaan.
“Lo kan tadi nyuruh gue minta maaf!”
Entah kenapa hati Ajeng berdebar. Manusia satu ini berhasil menarik perhatiannya.
“Apa aku benar-benar mencintainya?” Pertanyaan yang Ajeng lontarkan pada dirinya sendiri.
****
Ajeng merebahkan tubuhnya dengan seragam yang masih melekat, bahkan sepatu pun masih ia gunakan.
Hari ini benar-benar sangat melelahkan untuknya. Namun ia terlihat sangat bahagia. Bagaimana tidak, salah satu impiannya sudah tercapai saat ini. Berbicara dengan sang gebetan, Andrean tentunya.
“Meski gak panjang lebar, sih.” Senyumnya kembali terbit setelah mengingat kejadian tadi siang.
Gadis mungil tersebut tengah terpejam dengan tangan yang masih menggenggam ponsel menyala. Ternyata Ajeng baru saja melihat akun Instagram milik Andrean hingga tertidur. Sepertinya ia benar-benar ingin tau tentang kehidupannya. Namun, tak banyak yang ia dapat untuk saat ini. Tapi tak apa, masih ada hari esok dan seterusnya.
Masih dengan mata tertutup. Ponselnya bergetar dalam pelukannya. Hal itu sontak membuat Ajeng terbangun dari tidur indahnya. Ia melihat kearah layar ponsel dan buru-buru menjawab panggilan tersebut. Ajeng tak berucap banyak. Ia hanya mengatakan ya dan langsung memutuskan sambungan.
Entah karena apa, saat ini rasa kantuknya hilang begitu saja. Ajeng menuruni tangga menuju dapur untuk mengambil minuman.
Rumah yang cukup besar ini terdiri dari dua lantai. Tak heran, karena dia merupakan anak dari seorang pengusaha. Namun, hal itu tidak membuatnya bahagia. Karena pada kenyataannya kekayaan bukanlah sebuah tolak ukur untuk menentukan kebahagiaan seseorang. Meski begitu uang tetap menjadi yang terpenting dalam berbagai aspek. Tapi tetap saja, gadis remaja sepertinya juga membutuhkan kasih sayang bukan hanya uang.
______________________________________
Lumayan lelah😁
Tetap semangat🤗
Jangan lupa vote ya teman teman🖤🖤

KAMU SEDANG MEMBACA
Tragis [TERBIT]
Fiksi RemajaPre-order [25 Februari - 30 Maret 2022] Bisa beli di Shopee : cmgbekasi.store Pembayaran melalui : 1. PayPal 2. OVO 3. DANA 4.Bank Mandiri More info : 081280580215 (MinBe) 085797559818 (Author) _________________________________________ Tragis me...