Baru Tahu

95 12 1
                                    

Hal yang paling berpengaruh dalam proses mengenal seseorang adalah 'berjalannya sosok waktu'.

“Eh, jadi kak May juga sepupunya kakak?”

“Iya,” respon Andrean biasa saja. Berbeda halnya dengan Ajeng yang terus saja berteriak menanggapi setiap ucapan yang Andrean lontarkan.

“Kok, bisa?” tanya Ajeng lagi. Tak henti-hentinya ia bertanya.

“Kok bisa apanya? Ya, mana gue tau. Emang gue yang punya anak.” Andrean tak habis pikir dengan pertanyaan Ajeng yang satu ini.

“Hehe iya, sih. Kok bisa apanya ya,” kekehnya bingung sendiri.

“Em, jadi maksudnya kak Dara sepupu dari mamanya kak Andre. Kalo kak May dari papanya kak Andre?” Ajeng kembali mengucapkan untaian kata yang tadi Andrean lontarkan. Kepalanya bergerak keatas dan kebawah menerima informasi kelewat penting tersebut.

“Tapi kok teman-teman di sekolah pada gak tau kalo kakak juga sepupuan sama kak May?” tanya Ajeng lagi setelah mengingat sesuatu.

“Joy sama Fedrik tau, kok.”

“Bukan mereka, yang lainnya?” Ajeng tanpa bosan terus saja menggali informasi secara detail.

“Ya mana gue tau. Toh gak penting juga 'kan?”

“Ini tuh penting tau, kak.” Ajeng menyela tanggapan yang selama ini Andrean percaya.

“Ya udah. Besok-besok, gue pasang kertas dengan tulisan 'Sepupu Andrean' di dahi May.”

“Dah lah, males. Terserah kakak aja,” putus Ajeng sambil menggeser posisi duduknya. Ternyata tadi dia bertanya terlalu fokus, sampai-sampai jarak diantara mereka teriris terus-menerus.

****

Malam yang panjang diiringi dengan rintikan hujan yang membasahi bumi. Kali ini angin berhembus sangat kencang dan dalam. Menusuk setiap jajaran tulang hingga menerobos masuk kedalamnya.

Ajeng tengah berbaring dengan belitan dua selimut sekaligus. Benar-benar suhu malam yang sangat dingin untuknya.

Selang beberapa jam setelah Ajeng terhanyut dalam dunia mimpinya, terdengar derap langkah yang mendekati ruang kamar tersebut. Pintu berdecit pelan agar sang pemilik tidak menyadari kehadirannya. Dengan lampu remang-remang, sesosok manusia memasuki ruangan untuk mendekati ranjang tempat Ajeng berbaring.

Duduk ditepi ranjang dengan tangan yang terulur mengusap puncak kepala putrinya. Itulah yang dilakukan oleh Prasetya saat ini. Ia memandang putrinya dalam diam dengan sorot mata kasih sayang. Melihat Ajeng tertidur pulas membuat kedua ujung bibirnya tertarik keatas.

“Selamat tidur putri kecil,” ucapnya pelan dengan tangan yang lagi-lagi mengelus lembut puncak kepalanya.

Prasetya bangkit dari duduknya dan meninggalkan putri semata wayangnya itu sendirian seperti sebelumnya. Masih dengan pakaian kantornya, ia melenggang pergi memasuki ruangan samping. Membersihkan diri dan lantas tertidur dengan suasana yang masih sangat dingin tentunya.

****

Mentari masih tak menunjukkan senyumnya. Padahal ini sudah jam delapan lebih dua puluh lima menit. Ah mungkin karena semalam hujan kali ya_pikir Ajeng yang tengah duduk didalam ruang kelasnya.

Tragis [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang