Sepuluh Besar

62 8 8
                                    

Ujian yang sangat melelahkan telah berakhir dengan lancar.

Lima hari yang panjang telah terlewati dengan lancar meskipun terdapat berbagai macam hambatan serta gangguan.

“Haduh anjir, bego lama-lama kalo kek gini mah.”

“Aslian soal matematika nya tuh bikin mual bener!” Vania memasang wajah yang seolah-olah akan segera muntah.

“Elo sih kagak belajar!” Nova mentertawakan kesengsaraan sahabatnya.

“Lah? Mau sekeras apapun gue belajar, toh pas liat soal materi yang udah masuk langsung kabur,” ucap Vania meratapi daya ingatnya yang terkadang eror itu.

“Udah lah, yang penting kan ujiannya selesai!” seru Ajeng menenangkan sahabat-sahabatnya.

“Bener banget. Pokoknya, good bye semester satu!” teriak Jane dengan tangan yang terangkat tinggi.

“Good bye semester satu!” Ketiganya kompak memperagakan apa yang tadi dilihatnya.

Sontak mereka saling pandang dan tertawa bersama menikmati keindahan persahabatan.

****

“Tadaaa, aku masuk sepuluh besar!” Ajeng tersenyum senang sembari memperlihatkan hasil kerja kerasnya selama ini.

“Gadis pintar,” puji Andrean mengelus rambut panjangnya.

Ajeng tersenyum malu menanggapi pujian tersebut. Ia hanya terkekeh senang menikmati hari yang amat sangat spesial ini.

Beberapa menit mereka lalui dengan berbagai senyuman, hingga akhirnya Andrean melangkah semakin mendekat dan membungkukkan badannya yang jauh lebih tinggi dari gadis yang kini berdiri mematung.

“Semester depan harus lebih baik lagi ya, cantik.”

Tangan Andrean terangkat menutup mulutnya yang tengah tertawa pelan. Ajeng benar-benar membuat dunianya lebih berwarna. Gadis yang dapat menunjukkan berbagai macam ekspresi ini telah membuatnya jatuh hati untuk kesekian kalinya.

“Em, hadiahnya?” Tangan kanan Ajeng terulur untuk meminta sesuatu.

“Heh, baiklah-baiklah.” Andrean menarik pergi tangan Ajeng untuk segera meninggalkan koridor yang sedari tadi menjadi saksi dalam kisah indah keduanya.

“Ma, ini Ajeng.” Andrean memperkenalkan gadis yang berdiri disampingnya.

“Kamu anaknya Tamara, 'kan?” selidik Aruna, ibunda dari Andrean.

Ajeng hanya tersenyum malu menanggapi pertanyaan tersebut.

“Ya Allah, ternyata beliau ini camer ku!” batinnya berteriak senang.

“Makin lama makin cantik ya,” puji Aruna mengelus puncak kepala Ajeng.

“Kamu kelas berapa?”

“Baru kelas sepuluh, tante.” Ajeng menjawab canggung.

“Ini tuh hadiahnya?” bisik Ajeng pelan dengan tangan yang bergerak menyikuti pria di sampingnya.

“Haduh, kalian berdua ini!” respon Aruna melihat tingkah kedua remaja itu.

“Yaudah, deh. Tante pergi duluan ya.”

“Kamu, jangan lupa anterin Ajeng pulang!” peringat Aruna sebelum pergi meninggalkan sepasang remaja yang tengah terdiam menatapnya.

“Iya, ma.” Andrean menjawab pelan sembari tersenyum sebagai tanda perpisahan kearah mamanya.

“Aku juga pergi duluan ya, kak!” pamit Ajeng buru-buru pergi meninggalkan Andrean yang bahkan belum memberikan respon apapun.

••••

“Cie, yang baru aja dikenalin ke camer nya, cieee!” Vania menyenggol pelan bahu Ajeng yang berdiri disampingnya.

“Gak sekalian traktir kita makan, nih?” goda Jane dengan tangan yang mencolek dagu Ajeng.

“Ih kalian apaan, sih?” gerutu Ajeng dibuat salting oleh keduanya.

“Eh, btw Nova kemana sih? lama bener.” Jane berucap kesal menunggu kedatangan sang putri yang satu itu.

“Tau tuh si mata empat tercantiknya gue.” Vania berucap lebay.

“Kalo gue apaan?”

“Em, si jelek tukang ghibahnya gue lah.” Tawa Vania benar-benar meledak. Ia segera berlari agar tidak mendapat pukulan dari sang doi.

“Dih, ketawa kok gak ngajak-ngajak, sih.” Tiba-tiba Nova datang dengan ekspresi tak kalah bahagianya dari Ajeng.

“Lo kenapa? Dapet lotre juge kek dia?” Jane menyenggol lengan Ajeng sengaja.

“Mau tau?” Ketiganya mendekat berkumpul agar bisa mendengarkan dengan jelas apa yang akan diucapkan oleh Nova.

“RAHASIA!” teriak Nova dengan sangat keras. Hingga akhirnya ia pun mendapatkan serangan beruntun dari ketiga sahabatnya.

“Sakit tau!” Nova mengusap pelan punggungnya yang baru saja mendapatkan berbagai jenis geplakan.

“Makanya jadi orang tuh jangan jail!” Vania kembali melontarkan nasihat bijaknya.

“Ayo pulang!” Andrean kembali muncul dihadapan Ajeng yang tengah menikmati waktu bersama para sahabatnya.

“Em aku pulang bareng Nova aja deh, kak.”

“Eh, gak perlu-gak perlu. Kamu pulang bareng kak Andrean aja!” sanggah Jane mendahului Nova yang terlihat akan angkat bicara.

“Ya udah, deh. Aku duluan ya,” putus Ajeng setelah berpikir beberapa saat.

“Ayo, kak!” Ajeng berlalu dengan tangan yang masih menarik Andrean pergi.

****

“Aku ingin mencintaimu lebih banyak dari bintang, lebih besar dari sabar, dan lebih lama dari selamanya,” ungkap Andrean pelan dengan mata yang menatap lekat gadis didepannya.

“Tak perlu terburu-buru, kita masih punya banyak waktu untuk bersatu.” Ajeng kembali mengulum senyum setelah mengungkapkan isi hatinya itu.

Keduanya terdiam membeku merasakan hembusan angin sore yang sedikit lebih kencang dari biasanya.

“Jika aku menyatakan cinta padamu apakah kamu akan membalas perasaanku?” Ajeng mematung mendengar pertanyaan spontan itu. Ia tak tau harus menjawab apa sekarang. Ia sangat mencintai Andrean, namun apakah ini tidak terlalu cepat?

“Jadi, jawabannya?” tanya Andrean lagi.

“Em, itu,” gugup Ajeng menghadapi situasi semacam ini untuk yang pertama kalinya.

“AJEEENG!” Tiba-tiba teriakan yang maha dahsyat terdengar menggema ditelinga sang gadis hingga membuatnya tersadar akan apa yang terjadi.

______________________________________

Penasaran sama kelanjutannya ke gimana?? Simak di part selanjutnya, babay🖐🏻

Tragis [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang