Kesalahan Pertama

457 68 6
                                    

Datang tanpa diundang pergi pun tanpa diizinkan, kaya jelangkung aja.

Air mengalir di sekujur tubuhnya. Dia memang gadis yang malang. Hari pertamanya saja sudah tidak berjalan sesuai rencananya, bagaimana dengan hari berikutnya?

“Baru masuk udah gak tau malu, lo diajarin apa sih sama nyokap lo?” ucapnya dengan tangan yang masih mengangkat ember hingga terus mengalirkan air kotor kearah Ajeng.

Mayhara tak menghiraukan tubuh gadis yang duduk dihadapannya itu tengah menggigil kedinginan. Mata tajamnya itu menatap seolah akan menusuk hingga tulang terdalam.

Entah karena apa Mayhara begitu membenci Ajeng. Padahal ini merupakan hari pertama mereka bertemu bukan?

“Gila, gue gak nyangka ternyata sekolah sebagus ini nerima siswa tuli dan bisu ke dia.” Gertakan yang mampu membuat semua siswa diam membeku. Mereka takut dengan sosok yang ada dihadapannya itu.

Bukannya menjawab ucapan seniornya barusan, Ajeng malah berdiri dan mengangkat wajahnya. Menatap dengan lekat wanita yang kini berdiri sama rata dengannya.

Ajeng sudah muak dipermalukan. Ia tak suka jika ada seseorang yang berani merendahkannya seperti ini.

“Harus banget gue jawab pertanyaan lo, hah?”

Lontaran Ajeng tersebut berhasil menarik bola mata seluruh siswa yang ada di lapangan untuk memandang kearahnya.

Gadis berani dan tak takut apapun. Mungkin seperti itulah ucapan dalam hati teman-temannya yang kini masih berdiri mematung.

Siapa yang menyangka jika gadis tersebut dapat menjawab dengan nada lantang seperti tadi. Bahkan seluruh senior pun menatapnya tak percaya, kecuali Joy dan Andrean tentunya. Mereka sudah tau jika gadis yang kini tengah dikerumuni banyak orang itu memang tidak takut hanya karena gertakan seseorang.

“Luar biasa, baru tau gue nyali lo bagus juga.” Mayhara berucap kembali dengan diiringi tepuk tangan serta senyuman yang sulit diartikan.

“Gue heran gimana reaksi nyokap lo saat liat gadis kesayangannya kotor kaya gini, tapi kayaknya pas banget deh sama sikap lo yang kotor itu, benar-benar sempurna.”

Bagaikan pisau tajam yang menembus hati kecilnya. Ingin rasanya ia menangis dengan sangat keras. Bukan karena ia sakit hati dengan kata kata yang baru saja terlontar. Ajeng hanya rindu sosok malaikat yang bahkan tak pernah ia lihat itu.

“Gue gak punya nyokap, puas lo?” Jawaban yang begitu menyakitkan.

Ajeng pergi meninggalkan banyak pertanyaan dari semua orang yang tengah menyaksikan.

Mereka menatap iba, namun tak ada yang bisa membantunya saat ini.

Dengan langkah pelan namun pasti, dia menyusuri koridor diiringi bulir bening yang terjun di pipi indahnya.

Ajeng ingin ketenangan saat ini. Dia tidak membutuhkan siapapun, percayalah.

Jika pada dasarnya seorang gadis butuh seseorang saat sedang rapuh, itu tak berlaku untuknya. Ajeng tidak membutuhkan sandaran dari siapapun. Ia terbiasa sendiri, sepi adalah teman tersendiri untuknya.

Dibalik sikapnya yang ceria selama ini mungkin hanya sebuah topeng belaka. Entah dia mempunyai kepribadian ganda atau tengah menunjukkan sikap aslinya.

****

Bersandar disebuah pohon rindang dan mengeluarkan segala beban yang ia tanggung selama ini.

Ajeng benci menjadi gadis yang lemah. Namun apa daya, begitulah takdirnya.

“Sejauh manapun lo berlari, tetep aja bakal ketemu sama yang namanya masalah.” Suara yang mampu membuat gadis cantik itu langsung menoleh seketika.

Tak bisa berkutik apapun. Ajeng tak percaya dengan semua ini.

“Apakah Tuhan mengirimnya untuk pelengkap kehidupan pahit ini?”

“Atau hanya sebatas penenang kesedihan saat ini saja?”

Percaya atau tidak, yang manapun faktanya tak akan menjadi penghalang untuk Ajeng. Dia bahagia untuk saat ini, meski kenyataannya sesaat pun ia akan tetap bahagia.

Pria yang ia cintai beberapa jam yang lalu kini berdiri dihadapannya. Namun dengan tatapan dingin, bahkan lebih dingin dari es batu sekalipun.

Ajeng tersentak saat Andrean berlalu begitu saja dari hadapannya.

Tak berkata lagi ataupun duduk disampingnya. Sebenarnya Ajeng tengah mengharapkan itu sedari tadi.

Namun takdir tak ada di pihaknya saat ini, entah untuk esok hari.

****

Udah kesiangan, gak sarapan, sekarang dihukum pula. Ya Tuhan, tidak bisakah dia bahagia kali ini saja.

Apa dia dilahirkan dengan tujuan menanggung kemalangan?

Sudah satu jam yang lalu dia berdiri dibawah terik matahari yang kian memanas. Banyak sorot mata menatap kearahnya. Tatapan yang berbeda-beda pula ia dapatkan.

Seolah tak puas dengan hukuman tersebut. Gadis berambut pirang berlari ketengah lapangan yang kini tengah menjadi pusat perhatian.

Berbagai mata menatap kearahnya dengan sudut pandang yang berbeda. Bahkan salah seorang gadis berkacamata pun tengah sibuk memperhatikan Ajeng dan Mayhara yang kini sudah benar-benar menarik perhatian seluruh siswa yang ada.

Tiba-tiba Mayhara mendekat dan menatap dengan sangat tajam.

“Oh jadi ini gadis yang gak punya nyokap itu,” ucap Mayhara tanpa penyaringan sedikitpun.

Dengan langkah sigap dia menampar gadis yang kini tengah berdiam diri dihadapannya.

Entah apa yang salah saat ini. Tak ada yang lebih menarik menurut semua orang selain kejadian tersebut.

“Kenapa dia bersikap seperti itu?”

“Apa mereka terikat masa lalu?”

Pertanyaan itu terlontar namun dalam hati masing-masing. Takut rasanya bertanya secara langsung. Hanya kesunyian lah yang sedari tadi menemani suasana menegangkan ini.

Benar-benar keheningan yang mampu menusuk tulang sendi terdalam.

______________________________________

Cape juga ternyata, semoga suka ya😊🌹

Jangan lupa vote oke🌷🖤

Tragis [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang