Pokoknya Minta Maaf

122 30 15
                                    

Minta maaf duluan bukan berarti kamu yang salah. Ingat, memilih mengalah jauh lebih baik dari pada memperbesar masalah.

Ajeng berlari menghampiri Andrean yang kini tengah duduk bersama teman-temannya, kecuali Joy yang tak ada ditempat tersebut.

“Kak.” Ajeng berucap pelan saat sudah sampai didepan meja yang kini dihuni beberapa pria tampan.

Tak ada respon sama sekali dari Andrean. Hal itu berhasil membuat Ajeng frustasi sendiri.

“Sabar,” batinnya berteriak.

“Kak Andre,” panggilnya sedikit lebih keras dari sebelumnya.

Andrean menoleh dan mengangkat satu alisnya kearah gadis yang berdiri dihadapannya.

“Bisa bicara sebentar?” tanya Ajeng hati-hati. Pasalnya ia takut jikalau dianggap junior yang tidak punya sopan santun. Jadi dia menahan kekesalannya dan tersenyum sangat ramah. Meski diselimuti rasa keterpaksaan pastinya.

Tanpa menjawab, Andrean bangkit dari duduknya dan meraih tangan Ajeng berjalan menuju taman. Ia tau jika gadis yang kini berada dibelakangnya itu akan bertanya banyak hal mengenai kejadian kemarin siang.

Keduanya duduk di bangku kayu taman belakang dan hanya terdiam. Ajeng masih menyiapkan mental untuk bertanya kepada pria disampingnya.

“Kenapa kemarin bertengkar?”

“Kalo mau ngomong tatap mukanya, bukan nunduk kaya gitu.” Satu sindiran itu berhasil membuat Ajeng menatap maniak mata Andrean lekat sembari menyorotkan kekesalannya.

“Ya gak usah gitu juga kali!” Andrean mendorong wajah Ajeng yang semakin mendekat kearahnya.

Ajeng hanya mendengus dan mengumpati Andrean sesekali.

“Gak usah dibahas lagi, kemarin kenapa?” tanya Ajeng kembali ke topik utama.

“Kenapa apanya?” tanya Andrean balik. Sok polos, dan hal itu berhasil membuat Ajeng sangat geram.

“Kemarin kenapa adu jotos sama kak Joy. Kurang kerjaan?” Ajeng berteriak dengan lirikan mata tajam.

“Bukannya dia temen kakak, kenapa bertengkar kayak gitu?”

Ajeng terus melontarkan pertanyaan berbondong-bondong yang bahkan belum satupun Andrean jawab.

Andrean hanya terdiam menatap gadis yang terus berbicara tanpa henti itu dengan tersenyum miring. Ia hanya mendengarkan setiap kata yang keluar dari bibir indahnya.

“Aku lagi ngomong. Dengerin gak, sih?” tanya Ajeng sewot.

“Iya-iya. Gue dengerin, kok.” Andrean membalas tak acuh.

“Aku gak mau tau, pokoknya kak Andre harus minta maaf!” perintah Ajeng seenak jidat.

“Lah ngapain? Orang dia yang salah,” sahut Andrean tak terima.

“Minta maaf duluan bukan berarti kamu salah, kak.” Ajeng berbicara dengan lembut kali ini. Andrean menatapnya lekat dan mengusap puncak kepala Ajeng pelan. Ia tersenyum dan mengangguk pasti.

“Iya. Nanti gue yang minta maaf,” putusnya. Masih mengusap kepala sang gadis.

Keadaan kembali hening setelah Andrean menurunkan tangannya dari kepala Ajeng. Keduanya sibuk memikirkan topik selanjutnya.

Ajeng benar-benar tak ingin jika pembicaraan harus berhenti disini.

“Gak mau cerita alasannya?” tanya Ajeng kembali memulai pembicaraan.

“Mau tau?”

“Kalo gak mau tau ngapain nanya!” sinis Ajeng kesal. Memang benar, orang yang berada disampingnya kini merupakan orang yang paling hebat membuat kesal dan frustasi lawan bicaranya.

Andrean hanya tersenyum sekilas. Entah kenapa ia jadi lebih sering tersenyum saat bersama Ajeng.

“Karena lo.” Dengan nada santai ia melontarkan kata tersebut.

“Kok, bisa?” tanya Ajeng masih bingung. Meski ia sudah tau dari teman-tamannya pun, tetap saja Ajeng merasa terkejut. Karena baginya hal itu benar-benar tidak masuk akal.

“Kalo gak bisa kenapa kemarin gue berantem?” Pertanyaan yang logis memang. Namun bukan itu yang ia maksud saat ini.

Ajeng mencubit lengan Andrean keras dan menatap nyalang kearahnya.

“Gitu aja marah,” sindir Andrean tak tanggung-tanggung.

Keduanya kembali terdiam sesaat sebelum Andrean menjelaskan semuanya.

“Gue gak terima dia jadiin lo bahan taruhan.”

Ajeng menatap tak percaya mendengar kata yang barus saja terlontar. Ia masih cengo dan terlihat bingung seperti orang linglung.

“Lo gak percaya?” Andrean kembali bertanya.

Ajeng tak menjawab, ia hanya terdiam melihat Andrean mengeluarkan ponsel dari saku celananya.

“Nih.” Andrean menyodorkan ponselnya yang menampilkan sebuah video empat pria yang sedang berkumpul dengan dua diantaranya berjabat tangan.

Ajeng tercengang ketika melihat video yang berdurasi kurang lebih satu menit tersebut. Ia masih tidak bisa percaya dengan apa yang barusan tertangkap oleh matanya sendiri.

“Kenapa harus aku?” tanya Ajeng mengembalikan ponsel kepada pemiliknya.

“Gue gak tau, tapi untuk saat ini lo jangan ketemu sama dia. Kalo bisa gak usah sekalian,” ucap Andrean mengingatkan.

Ajeng hanya mengangguk pasrah. Ia baru tau kalau Joy aslinya seperti itu. Mereka memang tidak terlalu akrab. Namun Ajeng berpikir Joy adalah pria yang baik. Tapi sekarang apa kenyataannya? Ia dijadikan bahan taruhan padahal mereka tidak dekat. Bayangkan saja jika keduanya memiliki hubungan yang akrab. Mau dijadikan apa Ajeng oleh Joy saat ini?

“Gak usah dipikirin, sekarang dia gak bakal berani macem-macem sama lo, kok.” Andrean kembali menenangkan Ajeng yang terlihat gelisah.

“Kok, gitu?”

“Kan ada gue.”

Hanya dengan tiga kata itu jantung Ajeng berdebar tak karuan. Sekarang ia hanya mampu tersenyum untuk menutupi kegugupannya.

“Jantung, hati, mental. Pokoknya semuanya tenanglah,” batinnya berbicara pelan.

“Kan malu kalo ketauan salting, kekehnya dalam hati.

______________________________________

Yang lagi kasmaran mah beda:v

.
.
.

Votenya manteman;)

Tragis [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang