Tak Tahu Malu

81 12 14
                                    

Kesalahan yang dilakukan berkali-kali sama saja dengan sebuah kesengajaan.

Dara terus saja berteriak dengan tubuh yang kian merosot. Entahlah, ia terlihat seperti orang sakit jiwa sekarang.

“Gue suka sama lo!”

“Gue benci dia, dia rebut semuanya dari gue.” Sekarang bahkan air matanya pun ikut menetes. Sungguh memprihatinkan.

“Tapi lo tetep salah. Lo udah ngejebak gue sama Mayhara buat rusak nama baik Ajeng!”

Ajeng, Andrean, Mayhara dan semua orang yang menyaksikan pertunjukan ini benar-benar tercengang dengan lontaran kata tersebut.

“Gue ngelakuin itu agar lo benci sama dia. Gue gak suka mereka berdua, mereka munafik!” ucapnya dengan tangisan yang semakin pecah.

“Gue suka sama lo. Gue gak mau lo suka dia ataupun dia.” Dara menunjuk Mayhara dan Ajeng bergantian. Sorot matanya terlihat sendu namun tetap tajam.

Dara bangkit dari duduknya yang memprihatinkan itu. Ia berjalan linglung dengan mata yang terus meneteskan bulirnya.

Benar. Sekarang tak ada orang yang sanggup menyalahkannya. Dara terlihat sangat terpukul saat ini. Rasa simpati pun muncul dalam diri setiap insan.

“AAA GUE BENCI DIAAA!”

Praaang...

BRUUUGH...

“MAYHARA!” Kata pertama yang terdengar jelas ditelinga para siswa setelah Dara melemparkan pot bunga tepat mengenai kepala Mayhara yang tak terbungkus apapun.

“Lo gila?” Fedrik menarik tangan Dara paksa. Ia tak ingin jika sepupu dari sahabatnya ini terus berbuat onar.

Sepeninggal Dara dan Fedrik, kini tempat kejadian pun dikerumuni para siswa dengan raut penasaran. Sebenarnya yang sedari tadi menyaksikan pun masih tercengang ketika melihat darah yang terus menetes.

Joy membopong Mayhara meninggalkan ujung koridor yang menjadi saksi bisu penderitaan bagi gadis yang dicintainya.

Ajeng berdiri dengan kaki yang terus gemetar. Ia merasa bersalah karena tidak mempercayai ketulusan Mayhara untuk berubah. Ia benar-benar egois.

Andrean berjalan mendekat, tangannya terulur untuk menutup kedua mata indah milik Ajeng.

“Jangan terlalu dipikirkan. Dia akan baik-baik saja.” Andrean berusaha menenangkan.

“Lo boleh nangis. Gue akan tutup mata lo sampai lo puas ngeluarin penyesalan lo itu.”

Masih dengan posisi yang sama, Ajeng mulai meneteskan air matanya seolah bulir itu mengerti makna dari kata yang baru saja terucap.

****

“Kak May, maafin aku.”

“Lo apaan, sih. Sejak kapan lo jadi gadis cengeng kek gini?” Mayhara melepaskan pelukan Ajeng yang terlalu erat. Sesak_itulah yang ia rasakan.

“Kakak beneran Ara?” Ajeng bertanya seolah janggal dengan sesuatu.

“Iya,” jawab Mayhara menganggukkan kepalanya.

“Tapi gak sepenuhnya.”

“Maksud kakak?” Ajeng mengernyit mendengar ucapan terakhir yang dilontarkan Mayhara kepadanya.

“Entahlah.” Mayhara kembali berucap.

“Tumben lo jengukin gue?” ucap Mayhara mengalihkan suasana yang terlihat sedih sedari tadi.

“Sejak kapan lo sering sakit?” Andrean malah balik bertanya dengan posisi bersandar pada tembok bercat serba putih itu.

Yah, Mayhara sudah tak asing dengan ini. Andrean akan berbicara datar jika itu menyangkut dirinya. Meski begitu mereka tetap akrab, aneh bukan?

“Joy?” Mayhara berucap setelah melihat pintu terbuka dan menapakkan sesosok manusia.

“Gue pulang duluan!” Andrean mencekal pergelangan tangan Ajeng dan membawanya pergi meninggalkan ruangan tersebut.

••••

“Makan!” perintah Andrean sambil memberikan sebungkus roti kehadapan Ajeng.

“Kakak?”

“Gue kenyang,” jawab Andrean menyandarkan dirinya ke sebuah kursi kayu.

Sekarang mereka berdua tengah berada ditempat favorit Andrean, sebuah taman. Udara yang sejuk serta pemandangan yang indah mampu membuat kedua insan tersebut terus menyunggingkan senyuman.

Dengan senang hati Ajeng terus mengunyah makanan yang dibelikan oleh pujaan hatinya itu. Ia merasa amat sangat bahagia bisa memakan makanan sepesial ini.

“Gimana kondisi kak Dara?” tanya Ajeng setelah menelan semua makanannya.

“Jadi gila,” jawab Andrean asal.

Ajeng mencubit lengan pria disampingnya itu dengan sedikit keras. Yang benar saja, dia mendoakan saudaranya sendiri dengan hal yang tidak-tidak.

“Ucapan itu doa, kak.” Ajeng mendengus sebal setelah berhenti mencubiti lengan orang lain. Entahlah, sekarang itu menjadi salah satu kebiasaannya saat merasa kesal dengan pria ini.

“Ya udah, gue tulis aja dibuku. Sini!” Tangan Andrean bergerak untuk meminta.

“Apaan sih, kak. Sama aja gak boleh tau,” timpal Ajeng mengerucutkan bibirnya. Geram dengan tingkah pria idamannya itu.

“Oh iya,” ucap Andrean tergantung dengan tangan yang sibuk membuka tas ranselnya. Ia mengeluarkan sebuah kotak polos berwarna merah muda.

“Nih, buat lo.” Tangannya terulur untuk memberikan kotak misterius itu.

“Nanti pake nya pas mau lari ngejar gue ya,” ujar Andrean ketika Ajeng membuka kotak tersebut dan mengeluarkan sepasang sepatu. Wajahnya sangat berbinar saat ini.

“Gak mau, ah. Kak Andre kan larinya cepet.” Ajeng bersuara dengan ekspresi yang dibuat sesedih mungkin.

“Ya udah. Kalo gitu ngejar cinta gue aja, gimana?”

Tawaran Andrean tersebut berhasil membuat pipi Ajeng bersemu merah. Sungguh ia sangat malu saat ini. Mengapa bisa pria disampingnya itu mengucapkan hal-hal yang mendebarkan dengan wajah biasa saja.

“Huhu hati kaleng. Tapi tetep aja suka,” racaunya dalam hati. Benar-benar tidak jelas.

______________________________________

Ya Allah, aku yang ngetiknya aja baper banget sama tingkah gak jelas mereka_-

Tunggu kelanjutannya para pembaca setia:v

.
.
.

Vote and comen ya guys;)

Bay bay

Saranghae, i love you❣️

Tragis [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang