Collaps

16 1 0
                                    

Rendy memperhatikan pantulan dirinya di cermin. Netra hitamnya menemukan rona pucat yang sedikit nampak di wajahnya. Ringisan kecil keluar dari bibirnya saat merasakan nyeri yang tiba-tiba terasa di kepalanya.

Netranya terpejam berusaha meredam rasa sakit yang dirasakannya. Jemarinya mencengkram kuat pingiran wastafel menyalurkan rasa sakit yang menjadi-jadi di kepalanya.

Setelah rasa sakitnya berangsur-angsur menghilang hingga tak terasa kembali,ia membasuh wajahnya agar nampak lebih segar juga menghilangkan keringat dingin yang sedari tadi menetes di wajah tirusnya.

Langkah kakinya digerakkan untuk duduk di sisi tempat tidur berniat membaringkan tubuhnya sejenak. Dering ponsel yang menampilkan nama seseorang membuatnya harus membatalkan niat untuk beristirahat hari ini.

"Kenapa?". Tanyanya langsung membuat seseorang di seberang sana terkekeh.

"Seperti biasa gue gak perlu basa basi kan Ren. Gue mau nanti lo dateng ke alamat yang gue kirim, lo harus beresin urusan gue. Jangan sampai kalah atau... Gue akan main-main dengan orang yang kemarin ikut campur urusan gue. Sepertinya itu akan sangat menyenangkan"

Rendy mengepalkan tangan kirinya, berusaha meredam emosi yang mungkin akan membuat orang di seberang sana semakin puas, "Jangan pernah ganggu dia Ran. Gue akan kesana"

Seseorang itu tersenyum miring, "Bagus! Lo memang harus selalu setuju saudara kembarku!"

Sambungan telefon terputus membuat Rendy segera menyambar kunci motor lalu memakai jaket hitam yang diambilnya dari dalam lemari. Ia melangkah cepat ke arah pintu kamar dengan tangan yang memutar knop pintu.

Naura yang baru saja akan membuka pintu kamar beringsut melangkah mundur saat pintu yang akan dibukanya tiba-tiba terbuka. Netra cokelatnya bertubrukan dengan netra hitam pemuda yang telah rapi dengan setelan hitam itu.

Naura mengalihkan tatapannya, "Kak Rendy ingin pergi?"

"Ya,gue ada urusan"

Naura mengangguk mengerti,bibir tipisnya menarik sebuah senyuman tipis, "Hati-hati kak"

Rendy hanya berdehem lalu kembali melangkah lebar-lebar menuruni tangga dengan terburu-buru. Dengan segera ia menghidupkan mesin motornya dan melajukannya membelah jalanan yang ramai menuju tempat yang menjadi tujuannya kini.

***

Sekitar lima belas pemuda yang tengah berkumpul itu mengalihkan pandangan mereka ke satu titik saat suara deru motor terdengar. Kepada seorang pemuda yang kini tengah melepas helm sembari menatap tajam ke arah mereka.

Salah seorang pemuda dari kelompok itu maju selangkah dengan tatapan menilai yang tidak lepas dari pemuda di hadapannya, "Ternyata lo berani juga datang kesini. Nyali lo boleh juga datang sendiri atau memang lo mau mengantarkan nyawa?".

Kata-kata yang dilontarkan pemimpin mereka membuat kelompok pemuda itu tertawa meremehkan. Sementara pemuda tadi,Rendy hanya menatap datar ke arah mereka semua.

"Apa gue datang hanya untuk dengar ocehan lo semua?". Ucapan santainya membuat kumpulan pemuda itu mengeram marah.

"Kurang ajar! Lo gak tau lo berhadapan dengan siapa Randy! Lo bakalan abis ditangan kita"

Rendy mengamati pemuda-pemuda itu yang terlihat melirik satu sama lain,lalu mengambil sesuatu di balik tubuh mereka masing-masing.

Rendy mengernyit saat melihat lawan-lawannya membaca senjata di masing-masing tangan mereka. Ada yang membawa tongkat besi, tongkat kayu bahkan pisau.

Rendy menghela nafas kasar, "Gue gak pernah kira mereka akan pakai senjata. Randy bahkan gak ngomong apa-apa soal ini. Sial, gue harus bisa lawan mereka semua atau Randy akan ngelakuin hal yang bisa berdampak buruk nantinya".

Stairways to RevertTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang