Saat Rendy akan masuk ke ruang perawatan dimana ayah Naura tengah terbaring, disaat yang sama Rian keluar setelah memeriksa kembali keadaan ayahnya itu bersama seorang perawat di belakangnya.
Rian menepuk pelan bahu Rendy dengan senyuman di wajahnya, berusaha memberi dukungan moril untuknya. Rendy hanya mengangguk singkat lalu masuk ke dalam ruangan saat Rian melangkah menjauhi ruangan itu.
Pemuda itu melihat pria paruh baya itu tengah terbaring tenang, perban melilit kepalanya, juga masker oksigen terpasang disana. Sementara Naura terduduk di samping ayahnya, tengahnya menggenggam tangan pria yang telah merawatnya sejak dulu.
"Lebih baik lo istirahat Ra"
Naura menolehkan kepalanya sebentar sebelum kembali menatap wajah ayahnya, netranya juga melihat monitor yang menampilkan detak jantung ayahnya. Rasa sesak kembali menyelusup di dadanya, bahkan matanya kini kembali berkaca-kaca.
"Tidak kak, Naura akan menemani ayah disini". Jawab Naura pelan, Rendy dapat mendengar suara gadis itu yang bergetar, tengah menahan tangis yang memaksa untuk keluar.
Rendy tau kesedihan yang dirasakan olehnya, melihat sosok tangguh yang merawatnya sejak dulu tengah terbaring tak berdaya dengan peralatan medis yang tertempel di tubuhnya pasti membuat batin gadis itu terguncang.
Rendy memilih membiarkan Naura disana, ia tau gadis itu perlu menenangkan dirinya. Ia mendudukkan diri di sofa lalu memilih memberi kabar pada kakaknya Dion, sekaligus meminta tolong kakaknya untuk mengambil tas Naura.
Dion menyetujuinya dan memberi kabar jika dia sudah memberi tau mengenai ayah Naura pada keluarganya. Dia mengatakan jika mereka akan bersama-sama ke Rumah Sakit nantinya.
"Kak Rendy...ayah...hiks... kenapa ayah begini..hiks..kak". Naura memekik histeris saat melihat ayahnya tiba-tiba saja mengalami kejang-kejang juga detak jantung di layar monitor yang semakin melemah.
Rendy segera beranjak,dia tau dalam keadaan seperti ini ia tak boleh panik, pemuda itu segera menekan tombol panggilan untuk dokter membuat Rian dan beberapa perawat masuk ke ruangan itu tak lama kemudian.
Rian segera mendekati brangkar pasien, ia menoleh pada Naura yang menangis terisak kemudian menoleh pada Rendy, "Rendy bawa Naura keluar, tenangkan dia. Kami akan melakukan tindakan terbaik yang kami bisa"
Tanpa mengucap sepatah katapun, Rendy menarik tangan Naura untuk keluar, "Ayah akan baik-baik saja, biarkan bang Rian bekerja"
Naura hanya diam saat tangannya ditarik, kakinya terasa lemas saat Rendy mendudukkan dirinya di bangku. Isak tangis terdengar dari bibir tipis gadis itu.
"Kenapa ayah harus seperti ini, Naura belum bisa menjadi anak yang berguna. Ibu meninggal saat Naura masih belum mengerti apapun dan tidak bisa melakukan apapun....hiks..bahkan sekarang Naura juga tidak bisa mengurangi rasa sakit yang ayah rasakan..hiks...ayah..ini semua salah Naura, Naura tidak bisa melakukan apapun untuk ayah, ini salah Naura"
"Berhenti salahin diri lo sendiri Ra!". Tegas Rendy agar Naura berhenti menyalahkan dirinya sendiri, menganggap dirinya tidak bisa melakukan apapun, dia tak suka kalimat yang diucapkannya.
Suara tegas itu membuat Naura terlonjak kaget, air mata semakin deras mengalir dari kedua matanya yang biasanya memancarkan kelembutan. Rendy mengusap wajahnya frustasi, tersadar apa yang baru saja dilakukannya.
Pemuda itu kembali menarik Naura ke dalam pelukannya, "Maaf, gak seharusnya gue bentak lo Ra. Maaf"
"Gue gak suka lo menyalahkan diri lo sendiri, ini sudah takdir, lo harus percaya kalau ayah akan baik-baik saja". Rendy berucap lembut, tangannya bergerak mengusap kepala Naura yang tertutup hijab.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stairways to Revert
Teen FictionStairways to Revert Singularity : Have I Lost Myself? Can I Return Myself? Memiliki saudara kembar identik akan terasa menyenangkan dan pasti akan saling mendukung satu sama lain. Namun hal itu tidak berlaku pada Rendy Naufal Baskara Putra,pemuda ya...