🌻🌻🌻Masih seperti malam sebelumnya mata shappire-nya tak bisa terpejam saat malam, ia memutar otak bagaimana caranya agar bisa mengumpulkan uang yang banyak untuk pengobatan putranya, Boruto. Kembali ke profesinya seperti dulu? Tidak mungkin. Itu terlalu beresiko untuk hidupnya, lagi pula dia sudah berjanji tidak akan kembali ke tempat itu lagi. Jika itu terjadi, bagaimana nantinya dia bisa mengurus Boruto ketika dirinya pulang dalam keadaan babak belur, membayangkannya saja membuat kepalanya dilanda pening tiba-tiba.
Naruto menopang kepalanya dengan sebelah tangannya dan menghadap Boruto yang begitu lelap dalam tidurnya, tangan satunya memperbaiki letak selimut yang sedikit berantakan pada tubuh mungil Boruto. Mendekapnya erat dan ia coba ikut memejamkan matanya berusaha untuk tertidur walau hanya beberapa jam, mengingat waktu sudah menunjukkan pukul 3 pagi lewat 15 menit. Namun usahanya sia-sia, kedua matanya enggan untuk terpejam barang semenit.

Menghela napas, Naruto bangkit dari tidurnya dan memilih berjalan keluar. Mungkin duduk di luar bisa menyegarkan pikirannya yang gusar, kendati angin di waktu sepertiga malam ini begitu dingin tapi, tak membuat Naruto menyurutkan niatnya duduk di sana tak lupa secangkir kopi menemani keheningan malamnya.
Bulan bersinar dengan terangnya, berikut bintang-bintang yang menghiasi gelapnya langit malam. Pikiran Naruto melanglang buana, kala taburan bintang di langit berjajar bak membentuk garis wajah orang yang dia cintai. Rasa rindu seketika menusuk relung hatinya, rindu pada sosok wanita yang selama ini memberikan warna dalam hidupnya yang kelam.
"Hinata, seandainya kau ada di sini mungkin aku tak akan sekalut ini," hanya keheningan malam yang menjadi saksi bagaimana rapuhnya sosok Naruto. Pria yang selalu tampak tegar menghadapi hidup, nyatanya tak seperti apa yang terlihat. Ketika dirinya sering terjaga seperti ini ia tak segan mengeluarkan air matanya, menumpahkan segala sesuatu yang mengusik hati dan pikirannya.
"Selama ini aku terlalu bergantung padamu, dan sekarang aku harus melewati semuanya seorang diri. Aku tak tahu apa aku bisa Hinata, tolong bantu aku." air mata sudah membasahi wajah tegasnya, ia tak peduli jika seluruh dunia mengatainya pria cengeng dan melankonis. Karena dia hanya manusia biasa yang juga bisa menangis dengan caranya. Hati mana yang tak sakit saat harus terpisahkan dengan belahan jiwanya, tempatnya untuk pulang dan bergelung nyaman bersama, tempat berbagi cerita kasih sebagai mana pasangan yang sudah menikah seperti pada umumnya. Saling menguatkan dengan kata penyemangat ketika badai cobaan menghampiri.
'Semua akan baik-baik saja, asal kau selalu berada di samping ku.'
Namun semua hanya untaian kalimat yang entah hanya sekedar ucapan belaka yang tak pernah terealisasi kan. Naruto tak pernah menyangka pernikahannya dengan Hinata akan seperti ini, dia selalu berpikir mungkin ini adalah hukuman yang Tuhan berikan padanya karena sudah berani membawa kabur anak gadis orang dan menikah tanpa restu. Walau tepatnya Hinata lah yang meminta untuk membawanya kabur dan menikah.
"Hinata sungguh aku merindukan mu, apa kau baik-baik saja di sana.?"akibat kesalahpahaman waktu itu membuat bahtera rumah tangganya berantakan. Naruto benar-benar mengutuk perbuatan perempuan itu yang sudah lancang mengusik dan menghancurkan rumah tangganya, rasanya ingin sekali ia memberikan pelajaran untuk perempuan gila tersebut jika mereka bertemu nanti.
Tangan kekarnya terkepal erat jika mengingat itu semua, Naruto menghela napas dan memejamkan matanya sambil kembali membayangi wajah wanita satu-satunya yang ada dihatinya dan menggumam kan nama itu dengan lirih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Forever Love
FanfictionMenjadi orang tua tunggal untuk putranya, membuat Naruto berusaha membahagiakan sang putra seorang diri. Setelah berpisah dengan istri tercintanya, karena Hiashi tak merestui hubungan mereka. "Ayah bagaimana wajah ibuku?" "Jangan pisahkan aku dengan...