|BAB 4| Tujuan

1.1K 135 32
                                    

Apapun yang sudah ditakdirkan untuk dirimu, maka akan selamanya begitu. Tak perlu risau dengan apa yang belum terjadi.
Percaya dan terus berjalan adalah hal yang terbaik untuk mencapai titik temu.

Fajar di pedesaan yang asri tanpa rasa malu sudah memunculkan diri. Sinar yang terang dan hangat, pertanda bahwa malam telah berganti fajar. Para penduduk desa sudah mulai untuk melakukan aktivitas masing-masing. Mayoritas penduduk yang rata-rata bertani dan berkebun sudah bisa menjalankan aktivitas seperti biasa. Tak ada rasa mengeluh untuk mereka menghidupi keluarganya.

Rumah gubuk kecil itu, sudah membuka pintu untuk kepergian satu ratu yang sudah lama tak bertemu dengan sang ibu. Gadis itu tengah membawa tas yang ia jinjing keluar rumah. Kedua orang tua yang selalu ada untuknya, ia tatap oleh tatapan penuh sendu. Jika ditanya apa dia rela? Jawabannya adalah tidak. Ujian terberat baginya adalah harus berjuang sendiri untuk menemukan sang ibu di kota Jakarta. Meninggalkan keluarga di desa adalah pilihan paling sulit untuknya.

"Mbah, Pak." Anita memangil dengan suara yang bergetar. "Anita pamit, dulu. Anita gak akan lama, kok. Anita cuman mau mengejar mimpi, bukan untuk bermaksud pergi."

Anita meraih tangan tua milik Sutiyah dengan perasaan sayang yang luar biasa. Empat belas tahun lamanya, sang nenek telah menggantikan peran ibunya. Selalu merawat, menasehati, menjaga dan melindungi dirinya. Kasih sayangnya tak akan pernah padam, dan tak akan pernah hilang ditelan bumi.

"Nek tekan, kabarin, Mbah. Ada teman Bapakmu yang sudah menyiapkan kontrakan sesuai alamat. Kerja seng hati-hati. Sekolah seng bener." Sutiyah mengelus puncak kepala Anita dengan mata yang berkaca-kaca.

"Iya, Mbah. Jaga kesehatan, Mbah. Anita bakal kembali dengan gelar dokter dan bawa Ibu pulang," ucap Anita tersenyum hangat.

Anita pun memeluk wanita tua itu dengan air mata yang menetes. Seakan tak pernah terbayangkan baginya, jika mulai hari ini ia tak akan bisa lagi melihat senyuman milik neneknya. Ia mengurai pelukan dan menghapus air matanya.

Mata Anita kemudian terarah pada sosok pria yang bak malaikat baginya. Seperti sayap yang selalu menjadi pelindung ketika badai hujan menghadang, sebesar dan seluas samudera pun, tak akan mampu ia gambarkan seluas apa kasih sayang bapaknya. Pria yang mengajarkan dirinya tentang arti kehidupan sederhana.

Anita pun segera memeluk dan menangis dalam dekapan hangat milik bapaknya. "Pak, Anita pasti bakal kangen. Maafkan, Anita. Anita harus meninggalkan Bapak dulu. Anita akan hidup hemat, dan mencari pekerjaan, Pak. Anita gak bakal mengeluh. Semoga Bapak tetap sehat di sini." Anita mengutarakan semua tekadnya.

Suherman hanya bisa mengelus rambut sang anak dengan air mata yang terbendung. Berat rasanya ketika seorang bapak harus terpisah dengan anaknya. Ia tahu, Anita adalah anak yang bisa menjaga kehormatannya, tapi Jakarta adalah kota yang keras. Hanya khawatir.

"Amin. Ingat pesan Bapak, jaga kehormatan itu penting. Jadi orang yang sukses, dan kejar semua impian kamu." Suherman kemudian mengelap air mata anaknya. "Jangan mengeluh. Kontrakan yang dekat kampus, sudah Bapak siapkan. Jangan sia-siakan beasiswa kuliah ini."

Anita pun kemudian tersenyum. "Gak mungkin, Pak. Beasiswa ini, Anita dapatkan dengan susah payah."

Tin

Suara klakson mobil membuat mereka menoleh kearah jalan. Mobil bak terbuka sudah terpampang jelas di hadapan mereka. Anita pun tersenyum melihat itu. Anita pun meraih tas jinjing dan tersenyum pada mereka semua.

Setinggi Mimpi (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang