Dan kau bisa saja membuat diriku terbang setinggi langit
Aku juga melupakan satu hal, bahwa kau juga bisa menghempaskan diriku kapan saja.Hujan sudah terhenti sekitar lima menit yang lalu. Keadaan kota Jakarta yang biasanya gersang, kini seakan hilang dengan tetesan dan guyuran air hujan. Jalanan tampak masih ramai lancar. Hujan bukan menjadi salah satu alasan, penduduk kota untuk berhenti beraktivitas. Hujan adalah anugerah yang memang harus di syukuri keberadaannya. Berkata hujan, jalanan kota nampak dingin tak gersang seperti biasa.
Cafe Toffee masih saja ramai. Kebanyakan pengunjung adalah para mahasiswa yang memang mengambil kuliah malam. Banyak juga keluarga yang menepi sejenak untuk menikmati suasana tersebut. Ketika cafe ramai, Andalas justru memilih pulang. Ia merasakan lelah yang tak terkira. Pikirannya juga tak menetap pada satu titik, melainkan terbagi untuk memikirkan Anita.
Andalas pun menuju mobilnya. Tangannya ingin menghidupkan mesin mobil, namun sebelum itu terjadi, suara notif dari ponselnya membuat ia mengurungkan niat sejenak. Diambilnya ponsel itu, nomor tak di kenal? Siapa yang mengirimi pesan padanya? Tanpa lama-lama, Andalas pun membuka pesan itu.
+629678........
Cepat ke rumah sakit harapan Bunda. Anita sedang sakit di sana.Andalas yang melihat pesan itu sedikit terkejut. Pingsan? Tunggu. Siapa orang yang mengirim pesan padanya? Apa itu makhluk alien yang kebetulan mempunyai nomornya? Andalas segera menaruh ponsel itu, mengemudikan mobil menuju rumah sakit dengan kecepatan yang di atas rata-rata. Pikirannya kalut saat ini.
"Permisi, apa ada pasien bernama Anita disini?" tanya Andalas kepada resepsionis rumah sakit itu.
"Sebentar saya cek dahulu." Penjaga itu nampak mencari data lewat komputer. "Pasien bernama Anita, ada di ruangan mawar. Dari sini sebelah kanan."
"Terimakasih." Andalas langsung mengikuti arahan itu untuk menuju ruangan mawar.
Andalas segera membuka pintu ruangan, ketika ia sudah berada di ruangan mawar. Ia sempat terpana pada pemandangan yang sulit untuk ditebak. Anita sedang berbaring lemah dengan selang infus, juga alat bantu pernapasan disana. Andalas pun segera duduk di samping ranjangnya, menatap tubuh Anita yang lemah dengan pandangan yang sendu.
"Lo kenapa?" tanya Andalas sembari membelai rambut panjang milik Anita dengan penuh kasih sayang.
Tak ada jawaban apapun dari gadis yang sedang terbaring lemah. Hanya suara detak jantung yang ia temukan. Andalas pun meraih tangan Anita yang tampak dingin itu. Mengecup tangan itu dengan penuh cinta.
"Jangan buat gue merasa bersalah. Bangun, gue butuh senyuman lo. Bangun biar gue gak merasa bersalah." Andalas mengelus lembut tangan Anita yang dingin.
Anita yang merasakan sentuhan lembut, mulai terbangun dari kondisinya yang lemah. Mata itu mulai mengerjap pelan, ketika rasa pusing di kepala begitu hebat ia rasakan. Ia mulai berusaha untuk menyesuaikan cahaya lampu yang masuk pada retinanya. Mata itu kemudian terarah pada Andalas yang sedang menggegam tangannya. Anita pun membuka alat bantu pernapasan itu, membuat Andalas menggeleng.
"Jangan di buka dulu. Napas lo belum stabil," ujar Andalas membuat Anita tetap melakukannya.
Anita yang merasakan ada genggam tangan Andalas segera melepaskannya secara kasar. "Aku bukan wanita lemah. Aku baik-baik aja. Kenapa aku ada di sini?"
Andalas yang mendengar itu justru merasa bingung. Ia kemari karena mendapatkan pesan singkat yang mengabarkan bahwa Anita sedang tak baik-baik saja. "Gue ke sini dapat pesan dari nomor gak di kenal. Gue kira bohong, ternyata pas gue cek beneran."
Anita yang mendengar itu pun teringat sesuatu. "Ibu aku mana? Mungkin ibu aku yang bawa ke sini. Kamu lihat ibu aku?" Anita bertanya sembari melihat sekeliling ruangan.
"Disini gak ada siapa-siapa, dari pertama kali gue masuk. Lo yakin?" tanya Andalas membuat Anita ingin berdiri.
"Aw," ringis Anita yang memegang kepalanya.
Andalas langsung mendorong bahu Anita, agar tertidur lagi. Kondisi baru saja pulih, tapi gadis itu keras kepala. Mungkin ia anggap dirinya baik-baik saja, tapi Andalas yang melihat itu khawatir tak terkira.
"Tidur aja dulu. Lo baru saja sadar. Mungkin ibu lo udah balik," tutur Andalas membuat Anita menatapnya sendu.
"Apa ibu benci sama aku juga? Sama seperti kamu benci aku sekarang. Kenapa, sih, gak ada yang ngerti gimana rasanya jadi aku. Harus terhempas, terhina, dan di anggap tak punya harga diri. Apa kehidupan di kota sekeras itu? Sampai seseorang bebas untuk menilai diri kita yang buruk-buruk?" Anita bertanya sembari menahan air mata yang ingin menerobos keluar.
Andalas termenung sejenak. Mungkin gara-gara dirinya, Anita harus terbaring lemah seperti ini. Jujur ia sangat menyesali apa yang telah ia katakan pada Anita. Bahkan tak ada satupun niat untuk membuatnya terluka, namun gadis itu yang membuat ia terluka. Ia sakit, dan akhirnya membalas itu semua.
"Siapa yang bilang gue benci sama lo? Itu opini dari diri lo sendiri, bukan fakta yang sebenarnya. Gue yakin, ibu lo juga gak akan benci sama lo. Waktu yang aja yang belum tepat untuk mempertemukan lo lama sama dia. Perihal sore itu, gue minta maaf. Gue gak bermaksud nyakitin lo." Andalas benar-benar meminta maaf pada Anita yang merasa telah ia lukai hatinya.
Anita pun mengangguk. "Terus kata-kata itu apa? Aku gak nyangka, orang sebaik kamu ngomong gitu sama aku."
Andalas pun mengusap wajahnya kasar. Tangannya kemudian meraih tangan Anita, membawa tangan itu pada genggaman dirinya. "Gue ngelakuin itu semua, biar lo sadar. Gue beneran cinta sama lo, tapi kenapa lo terus nolak gue? Tapi sekarang itu tak penting. Yang terpenting, lo bisa sembuh dan membalas cinta gue nantinya."
Anita merasa tubuhnya menghangat seketika. Apa ini? Kenapa jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Kondisi jantung yang abnormal. Apa ia telah mencintai Andalas? Kapan rasa ini muncul ia pun tak tahu.
"Apaan, sih. Gak usah ngaco," ucap Anita sembari menarik tangannya. Ia tertawa, membuat Andalas juga ikut tertawa bahagia.
Tanpa mereka sadari, ada seorang wanita di balik pintu yang terus menguping obrolan mereka berdua. Wanita itu seakan tak bisa berkata-kata. Hatinya seakan tertusuk oleh ribuan jarum jahit yang begitu banyak di jantungnya. Kenapa ini harus terjadi? Benar yang di katakan oleh suaminya. Andalas memang orang yang selalu melindungi Anita.
"Kenapa harus kamu Andalas?" Zola berkata lirih sembari memukul hatinya yang sakit dan sesak. "Kenapa harus kamu, yang mencintai dan menjaga kakakmu sendiri?" Zola kemudian menangis meratapi nasib yang sudah terjadi.
Ketika dua darah daging saling menyayangi bahkan timbul rasa ingin memiliki, apa yang harus di lakukan? Ia sudah telat untuk mencegah cinta agar tak datang. Ia bodoh, karena membiarkan dua anak kandungnya saling mencintai, tanpa tahu status yang sebenarnya. Zola yang merasa tak kuat, segera meninggalkan rumah sakit itu dengan air mata yang terus menetes.
#TBC
Part kali ini gimana guys?
Give me VOTMENT PLEASE 💜💜
Jangan lupa untuk follow akun wattpad shtysetyongrm ya hehehe.
See you.
KAMU SEDANG MEMBACA
Setinggi Mimpi (Completed)
FanficAku hanyalah seorang gadis desa, yang bermimpi untuk bertemu dengan Ibuku. Ibuku seorang artis terkenal di kota. Empat belas tahun sudah, aku dan dia tak berjumpa. Jarak selalu memisahkan kita berdua. Rindu ini semakin menjadi, ketika aku membutuhka...