|BAB 5| Langkah Awal

1K 129 20
                                    

Saat banyak orang ingin menjadi sempurna, justru yang sederhana lebih enak di pandang oleh mata

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Saat banyak orang ingin menjadi sempurna, justru yang sederhana lebih enak di pandang oleh mata.


"Anita, bangun." Yanto menepuk pelan pipi Anita yang tengah tertidur pulas bersandar didekat jendela.

Anita pun mulai membuka mata secara perlahan. Ia menggerakkan otot yang seakan kaku. Mengumpulkan nyawa dan menatap sekeliling. Ia ada dimana? Suasana gelap yang terlihat oleh matanya.

"Pakde, saiki nandi?" tanya Anita dengan kesadaran yang belum terkumpul.

Yanto pun menatap Anita dengan perasaan kesal. "Ini sudah sampai Jakarta." Yanto kemudian menunjuk kearah luar, tepat dimana deretan rumah terpampang jelas. "Itu kontrakan teman Bapakmu. Sekarang kamu keluar, Pakde mau antar barang."

Anita mengikuti arah telunjuk, yang ia lihat deretan rumah yang terbilang cukup bagus terpampang jelas. Ia kemudian menoleh pada Yanto. "Lah, sekarang jam berapa Pakde? Terus rumah teman Bapak dimana?" Anita bertanya pada Yanto yang terlihat melihat jam yang melingkar di tangan.

"Pukul 07.00 malam. Rumah warna ijo iku, rumah yang punya kontrakan." Yanto menjawab dengan perasaan yang lumayan kesal.

Barang pesanan saja belum ia antar ke pelanggan, tapi Anita membuat sebagian waktunya terbuang. Perjalanan mereka cukup lama sekitar dua belas jam, karena mereka tidak lewat jalan pintas atau lewat jalan tol.

Anita pun mengangguk mantap. Ia meraih tas dan keperluan lainnya. Ia kemudian keluar dan menutup pintu. Dari kaca ia melihat dan tersenyum pada saudara bapaknya itu. "Suwon, Pakde. Sampaikan pesan Anita, kalau sudah sampai disini."

"Iyo, wes aku arek anter barang." Yanto kemudian mengendarai mobil meninggalkan Anita yang terus melihat kepergiannya.

Anita menatap langit malam. Matanya terus terarah pada bangunan serba megah di tempat baru seperti ini. Sangat berbeda dengan suasana di desa. Udara disini cukup gerah, sedangkan di desa jika jam sudah diatas pukul 06.00 pasti udara seperti es, dingin dan membeku. Baru datang, ia sudah merasakan perbedaan yang luar biasa.

Gedung yang menjulang tinggi, lampu yang memancarkan sinar dari atas ketinggian, membuat ia tak bisa mengalihkan sedikit pun perhatian. Seakan terpanah dan diam pada satu titik. Tak ada senyum yang lenyap, ketika hatinya merasa bahagia.

"Bu, Anita bakal bawa Ibu kembali." Anita mengeratkan pegangan tas menatap rumah berwarna hijau yang sudah terpampang jelas.

Sendal jepit yang beradu pada lantai keramik, membuat langkah kaki semakin dekat dan merakit. Tangan yang beradu pada kayu jati, membuat suara nyaring. Anita sedang mengetuk pintu rumah itu.

Setinggi Mimpi (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang