|BAB 19| Rutinitas

806 87 13
                                    

Memberikan selagi bisa, meminta tolong lah ketika kita butuh pertolongan. Kita makhluk sosial yang membutuhkan orang lain.

Terik matahari membuat Anita mempercepat langkahnya untuk memasuki halaman kampus UI. Kampus yang membuat dirinya bisa mengejar ilmu secara gratis. Kampus yang sudah lama berdiri memang terkenal dengan keberhasilan juga tekadnya untuk membangun kualitas mahasiswa yang baik. Bahkan Ainun istri dari Habibie pernah menuntut ilmu di Universitas Indonesia. Istri Habibie itu mengambil fakultas ilmu kedokteran, sama seperti dirinya. Ia sangat terinspirasi dengan kisah Ainun yang tak pantang menyerah. Walau ia berasal dari kalangan yang cukup dibilang sederhana, ia juga masih bisa berpendidikan dengan baik. Mengejar semua mimpi, dan membuktikan pada mereka yang selalu menghinanya.

Anita sudah berada di kawasan lorong kelasnya sekarang. Ia berjalan dengan santai, senyum bahagia selalu merekah disaat hatinya sakit. Untuk apa terlihat sedih? Lagi pula semua tak akan mengerti apa yang ia rasakan. Jangankan untuk mengerti, mungkin kebanyakan dari mereka tak perduli. Maka senyum adalah sebuah awal untuk bahagia. Ia sekarang sudah masuk ke kelasnya. Kelas hari ini sangat siang, berbeda dengan biasanya.

"Halo Anita!" sapa Renata sembari memutar badannya ketika Anita sudah berada di belakangnya.

"Halo Renata," balas Anita sembari mengeluarkan buku kemudian membacanya.

Renata yang melihat itu sudah tak terkejut lagi. Itu memang kebiasaan Anita untuk membaca buku walau dua menit saja. Ia dan Anita tentu berbeda.

"Eh, kemarin lo pulang sama siapa? Gue benar gak nyangka, bahwa Zola itu ibu lo!" teriak Renata membuat Anita menatap sekeliling.

Para mahasiswa yang memang berada dikelas menatap kearah mereka dengan tatapan yang sulit di artikan. Bahkan dari mereka tersenyum miring, menganggap perkataan Renata adalah kehalaun semata. Tentu saja Anita tak mungkin anak seorang artis terkenal seperti Zola.

"Jangan kuat-kuat. Cuman kamu orang yang tahu," cicit Anita membuat Renata menutup mulutnya.

"Sorry. Abis gue gak percaya. Gue kira lo bohong, tapi pas managernya suruh lo ikut, gue percaya bahwa lo memang anaknya," ujar Renata membuat Anita hanya mengangguk kemudian tersenyum masam.

Renata yang menyadari perubahan raut wajah dari temannya itu berusaha untuk menebak. Apa temanya itu baik-baik saja? Atau temanya tidak sarapan? Terlihat lemas seperti itu.

"Eh, lo kenapa? Muka lo kaya asem, kecut," tutur Renata membuat Anita menatapnya.

Anita memaksakan senyum untuk menutupi apa yang ia rasakan dalam hatinya. Ia menatap pada Renata yang sepertinya sedang menunggu jawaban darinya. "Alhamdulillah, aku baik-baik saja, kok. Muka aku emang gini."

Entah feeling-nya salah atau benar, Renata rasa ada yang mengganjal di pikiran temanya itu. Ia tidak tahu pasti, tapi raut wajah tak bisa untuk dibohongi. Walau seribu kali topeng di pasang, tak bisa menutupi raut wajah kecewa yang sudah terpancar. Renata berusaha untuk menghibur temanya itu.

"Laporan lo udah jadi?" tanya Renata membuat gelengan kepala terbit dari Anita.

"Aku udah buat catatan,  tapi belum di ketik. Abis aku gak ada laptop," balas Anita membuat Renata segera meraih laptop yang memang sudah ia bawa untuk Anita.

Setinggi Mimpi (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang