|BAB 36| Kita Pulang

1.1K 82 9
                                    

JujurIni sudah makanan sehari-hari bagi dirikuUntuk mengatasinya, aku hanya perlu menyendiri dan meratapi nasib saja Jangan panik itu kunci utamanyaHanya saja aku bingung, Kenapa aku bisa berdarah, padahal aku tidak sedang teriris dan sedang tidak...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jujur
Ini sudah makanan sehari-hari bagi diriku
Untuk mengatasinya, aku hanya perlu menyendiri dan meratapi nasib saja
Jangan panik itu kunci utamanya
Hanya saja aku bingung,
Kenapa aku bisa berdarah, padahal aku tidak sedang teriris dan sedang tidak ada yang mengurusnya.

Luka, derita, dan kecewa seakan sudah menjadi makanan sehari-hari. Jujur saja aku bingung saat ini. Disaat satu masalah terselesaikan dengan baik, justru seribu masalah datang menarik. Jika ditanya apa yang membuat aku bertahan? Itu semua karena cita-cita yang belum tersampaikan. Meraih cita-cita itu ibarat, meraih burung yang ada di langit. Tinggi ibarat setinggi mimpi. Kebanyakan dari tetangga mungkin menganggap apa yang ia cita-citakan tak berguna, mustahil, dan tak akan terlaksana, tapi semua akan terjadi menjadi nyata.

Semua itu butuh proses, bukan seperti mie instan, yang langsung sedu langsung dapat di makan. Butuh proses untuk meraih, dan butuh banyak pengorbanan. Mungkin, jika cita-cita itu mudah diraih, kebanyakan orang mungkin sudah meraihnya bukan? Nyatanya tidak. Hanya beberapa yang bisa bertahan, dan tidak semua orang bisa melewati tantangannya.

Anita hanya bisa menangis dibalik pintu. Apa yang baru saja ia dengar? Ayahnya tiba-tiba merubah keputusan secara sepihak. Tanpa memikirkan dirinya. Apa yang terjadi? Disaat cita-cita ingin segera ia raih, justru sang Bapak mengajaknya pergi. Anita terus saja menangis.

"Bapak jahat. Anita sudah setengah jalan, tapi disuruh pulang," ucap Anita dengan isakan tangis yang terus turun.

Hati anak mana yang tak sakit, jika menerima kenyataan seperti ini? Ini sangat berat bagi dirinya. Ia ingin meriah cita-cita, bukan menyerah begitu saja. Anita hanya bisa menelungkupkan wajahnya di sela-sela lipatan tangannya.

Tok ... Tok

Suara pintu membuat Anita menahan tangisnya. Walau ia sudah berjanji tak akan lemah, tapi nyatanya ia tak bisa melakukan itu semua. Ini terlalu menyakiti hatinya. Ia tak bisa melepaskan cita-citanya begitu saja. Ia tak bisa melakukan itu semua.

"Anita, buka pintu. Kita bicarakan baik-baik," tutur Suherman sembari mengetuk pintu.

"Anita mau sendiri, Pak." Anita mencoba untuk menahan tangisnya.

Suherman menghela napasnya. Tentu saja ia berusaha sabar, dalam mengahadapi sikap anaknya. Bukan Anita yang membuat dirinya marah, tapi keadaan yang tak lagi sama, yang membuat ia harus memilih keputusan yang seperti ini. Ia tak mau, bila Anita terkena masalah lagi. Cukup satu, bukan berkali-kali.

"Apa kehidupan di Jakarta yang membuat anak Bapak berubah? Dimana Anita yang dulu? Bapak seakan tak mengenalnya." Suherman mencoba untuk menarik Anita.

Setinggi Mimpi (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang