14. Semangat Ya!

48 12 0
                                    

Happy Reading

◽◽◽

"Mau ke mana?"

Hingga beberapa detik kemudian, Fia masih terdiam. Antara bingung, harus mendongak menatap orang itu atau tetap menunduk saja yang kesannya mungkin aneh.

Tapi, Fia sepertinya tau orang itu.

"Mau ke mana, Fia? Kenapa nunduk terus?"

"Gapapa."

Jawab Fia yang masih menunduk.

"Aku ada salah ya?"

Kini Fia diam. Ia tak tau harus menjawab apa. Saat ini Fia bukan lagi merasa takut, tapi deg-deg an.

"Maaf."

"Untuk apa? Kak Dion gak ada salah, lagian kenapa minta maaf ke aku? Aku bukan siapa-siapa."

Fia tersenyum miring, kepalanya sudah menghadap wajah lelaki yang dalam hatinya itu, ia rindukan.

"Aku rasa, kamu ada salah paham sama aku. Kenapa? Bilang coba."

Tanya Dion sembari menarik tangan Fia agar menjauh dari toilet. Meski Fia mengelak di tarik seperti itu, genggaman tangan Dion yang menariknya itu terlalu erat.

Sampai tiba di tempat yang lumayan sepi, tak jauh dari toilet. Dion melepaskan tangannya dari tangan Fia, kemudian lelaki itu tersenyum dan menatap Fia.

"Aku harus pergi, Kak."

"Nanti, aku juga harus pergi."

"Ya terus kenapa Kakak malah narik aku ke sini?"

"Kamu marah 'kan sama aku? Maaf, maaf karena beberapa hari terakhir aku gak nemuin kamu.
Mungkin aku terlalu fokus sama latihan nya. Bahkan sampe untuk buka chat aja kadang-kadang aku gak sempet."

"Terlalu sibuk tapi masih bisa jalan ya, Kak."

Ujar Fia menyindir.

"Maksudnya?"

"Udah ya, Kak. Aku harus balik lagi ke temen-temen."

Belum sempat Fia membalikkan badan hendak beranjak dari hadapan Dion. Lelaki itu memegang kedua pundaknya dengan matanya yang berusaha menatap mata gadis di depannya.
Sulit bagi Fia untuk menatap Dion. Betapa jantungnya berdetak lebih cepat, ia merasakannya.

"Maksud kamu jalan sama perempuan lain? Jadi, kalau iya, kamu cemburu?"

Dion tersenyum.

"Enggak juga."

"Lah kamu 'kan marah sama aku. Kalau marah karena itu, berarti kamu cemburu."

"Aku gak bilang kalau aku marah. Tadi 'kan cuma nanya."

Memang ya, perempuan seperti itu. Di salahkan pasti akan selalu benar. Atau memang lelaki yang ditakdirkan harus selalu mengalah untuk perempuan? Padahal lelaki itu juga harus membimbing perempuan nantinnya.

See You [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang