Sebelas

1.2K 57 0
                                    

Pagi-pagi sekali aku sudah di suruh mempersiapkan diri untuk akad nikah nanti. Ingin rasanya aku pergi dari sini, namun penjagaan nya cukup ketat membuat ku sulit bergerak hanya untuk pergi ke kamar mandi.

"Mau kemana?" tanya lelaki semalam yang sampai saat ini belum ku ketahui namanya

"Mandi" jawab ku singkat

"Jangan coba-coba kabur!" peringatnya yang ku abaikan

"Pergi dari sini, aku gak mau berdua terus di ruangan ini bersama mu" usir ku

"Atas dasar apa kamu mengusir ku heh?"

"Sudah ku bilang, kita bukan mahrom. Lagian kamu menyuruh ku untuk cepat bersiap-siap kan? Kalau begitu kamu pergi supaya aku cepat selesai" jawab ku sangat malas

Tanpa menjawab ia berlalu begitu saja.

Setelah selesai di make up, ku lihat pantulan diri ku di depan cermin. Tubuh ku kini terbalut gaun pemberian Ayah. Gaun pengantin sederhana berwarna putih, dengan jilbab senada yang menutupi dada, di sempurnakan dengan make up natural, membuat ku terlihat lebih berbeda dengan sebelumnya. Ku kira ayah sengaja memberikan gaun ku untuk perpisahan sekolah, namun aku salah. Pantas saja ini terlihat berbeda dengan gaun perpisahan. Aku bodoh mengetahui hal ini.

Cklek

Pintu terbuka, menampilkan seseorang yang aku benci sifatnya.

"Sudah siap?" tanya nya

"Bisa Ayah lihat sendiri" iya orang itu Ayah ku, Ayah yang sangat aku benci sifatnya

"Apa kata saya, kamu tidak akan bisa lepas dari pernikahan ini" katanya tersenyum penuh kemenangan

"Iya Zahra tau. Zahra yang tidak punya kekusaan akan selalu kalah dengan orang yang selalu menggunakan kekuasaan nya. Seperti Ayah" jawab ku. Ini sungguh memuakkan.

Semua orang bisa mendapatkan segala sesuatu dengan kekuasaan mereka. Sementara orang yang lemah ia bisa apa heh? Dunia memang tidak pernah adil.

"Tunggu sebentar lagi, setelah itu kamu tidak akan merepotkan saya kembali"

Apa katanya? Aku merepotkan?
Yang benar saja. Aku selalu berusaha mandiri, aku membayar dengan bekerja di rumah sendirian hingga aku rela selalu terlambat datang ke sekolah.
Apa ada orang tua yang merasa di repotkan oleh anaknya? Mungkin memang seorang anak akan merepotkan kedua orang tuanya, tapi bukankah itu suatu kewajiban?
Sudahlah aku tidak mau mengambil pusing masalah ini.

"Ayah benar, aku sangat merepotkan. Kalau begitu kenapa sejak Bunda meninggal, Ayah tidak membuang ku saja?" ku berikan senyuman. Senyuman yang sangat menyayat hati.

"Kalau saya tidak mempunyai banyak hutang, mungkin saya akan membuang mu saat itu juga"

Oh Allah..
Sebegitu benci nya Ayah kepada anak sendiri?
Aku tidak pernah mendapatkan kasih sayangnya, aku ingin seperti anak lain yang merasakan sayang nya seorang Ayah. Dari kecil hingga aku akan menikah Ayah tidak pernah menunjukkan rasa sayangnya kepada ku. Apa aku sangat membebaninya?

Saat gadis lain yang akan menikah, seorang Ayah akan merasa tidak rela melepaskan puteri nya kepada lelaki lain, tapi berbeda dengan Ayah. Ia bahkan menjadikan ku sebagai jaminan.

"Tenang, setelah ini Ayah akan terbebas dari beban yang aku bawa selama ini" kata ku meneguhkan hati

"Memang seharusnya" setelah mengucapkan itu Ayah pergi keluar, karena sebentar lagi akad nikah akan di mulai.

Sementara aku di dalam kamar ini berusaha menahan air mata yang sudah meronta untuk keluar.

***

Sah

Aku tidak menyangka, secepat ini aku menjadi seorang istri, terlebih dari seorang lelaki yang tidak aku kenal.

Setelah do'a di bacakan, aku di tuntun oleh wanita paruh baya yang masih sangat terlihat cantik di usianya sekarang ini. Sepertinya ia Ibu dari suami ku. Suami? Rasanya terdengar sangat tidak enak, namun bukankah ia telah sah menjadi suami ku?

"Ayo nak, biar Ibu antar" ajak nya dengan senyum yang ia tunjukkan kepada ku

"I.. Iya Bu"

"Nama saya Mila, saya Ibu dari Raihan suami mu" katanya memperkenalkan diri. Yang ku jawab dengan anggukan serta sebuah senyum kecil

-Raihan- Lelaki yang kini telah sah menjadi suami ku beberapa waktu yang lalu.

Ibu Mila terlihat baik dan juga ramah kepada ku. Syukurlah setidaknya masih ada orang baik di keluarga ini.

"Yuk"

***

Ku tundukkan kepala ku, aku enggan melihat sekeliling ruangan ini. Terdapat beberapa pasang mata uang menatap ku. Mungkin mereka saudara dan teman dari suami ku.

"Jangan nunduk dong sayang" kata Bu Mila

"Aku malu Bu" jawab ku

"Tidak banyak orang kok. Kamu tenang aja" ucap Ibu Mila menenangkan ku

Ku angkat pelan kepala ku. Saat itu juga mata ku menatap tepat lelaki yang telah menjadi suami ku.

Tatapan nya tak menyiratkan orang yang tengah bahagia.
Bagaimana bisa bahagia? Bahkan aku sendiri tidak bahagia, yang ada rasa terpaksa.

Ku raih tangannya dan ku cium punggung tangannya. Rasanya sedikit haru, karena aku telah menjadi seorang istri.

Tak ada acara suami mencium kening istri. Sudah ku bilang bahwa di pernikahan ini tidak ada yang bahagia sama sekali.
Pernikahan ini terjadi karena hutang dan sebuah paksaan saja.
Jangan berharap akan bahagia.

💙Cirebon, 23 Mei 2020💙

Assalamu'alaikum..
Tinggalkan jejak nya sebentar aja dong😢

The Pain I Feel (Proses Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang