Tiga Puluh Tujuh

1.6K 71 0
                                    

Seperti biasa tekan Vote dulu sebelum membaca. Masa yang baca banyak, yang Vote cuma 5-6 orang. Kan sedih huhu😢

Sesuai jadwal kuliah, maka pagi ini aku akan pergi ke kampus. Namun tentu saja aku akan sarapan terlebih dahulu.

Masih sama dengan pagi sebelumnya yang akan membuat ku terasa mual dan muntah-muntah. Seperti sekarang ini, aku sedang mengeluarkan isi yang ada di dalam perut ku setelah sarapan tadi.

Aku rasa kemampuan ku dalam menutupi hal ini cukup bagus, meski aku harus sabar menahan rasa pusing dan mual. Sebenarnya aku sangat ingin di perhatikan oleh orang rumah, namun aku harus sadar kalau kehadiran ku di rumah ini tidaklah penting.

Cklek

Aku terkejut saat mendengar pintu kamar terbuka. Untung saja aku sedang tidak muntah sehingga tidak ada yang tahu.

Langsung saja ku hampiri orang yang masuk ke kamar. Ternyata Mas Raihan.

"Ada apa Mas?"

"Kamu sedang apa? Lama sekali di kamar mandi" kesal Mas Raihan

"Maaf. Tadi aku merapikan kembali pakaian"

"Ya sudah cepat. Saya tunggu di mobil" tegasnya

Aku menghela nafas. Sikap Mas Raihan sungguh sulit di tebak. Biarlah, mungkin aku akan terbiasa.

Kemudian aku berjalan untuk menyusul Mas Raihan.

"Mbak" sapa ku pada Mbak Salsa saat kami bertemu

"Iya Zahra" jawabnya tersenyum

"Aku pamit mau berangkat ke kampus" ku cium tangan Mbak Salsa. Bagaimana pun juga aku harus menghormati orang yang lebih tua

"Baiklah. Hati-hati ya" pesan Mbak Salsa yang ku jawab dengan anggukan

"Assalamu'alaikum Mbak"

"Wa'alaikumussalam"

Aku bersyukur. Setidaknya di rumah ini ada orang yang rela memberi perhatian layaknya seorang kakak.

Terlihat Mas Raihan yang tengah berdiri menyandar ke mobil. Ia berdecak saat aku baru saja sampai. Mungkin aku terlalu lama. "Ck!"

"Kamu jalan seperti siput. Lama" sarkasnya. Lagi-lagi aku menghela nafas. Sepertinya aku akan selalu terlihat salah di mata Mas Raihan

"Maaf" hanya itu yang bisa ku ucapkan. Mungkin memang benar, aku yang kelamaan jalan

"Saya bosan mendengar banyak kata maaf dari kamu" kata Mas Raihan masuk ke dalam mobil

Hati ku tersentak. Jika bukan dengan kata maaf, maka aku harus bagaimana? Aku hanya punya banyak kata maaf yang bisa ku lontarkan.

"Cepat masuk!" Mas Raihan menyadarkan ku saat aku masih diam berdiri di tempat yang sama

Hening. Tak ada suara antara aku maupun Mas Raihan. Bahkan musik pun tak ikut mengiringi perjalanan kami.

"Saya sebenarnya malas mengantar kamu"

Deg

Mengapa Mas Raihan sangat mudah membuat ku sedih? Tak bisakah sedikit saja ia tidak melontarkan kata yang menyakitkan.

Baiklah jika memang ia tidak ingin mengantarkan ku.

"Turunkan Zahra disini" ucap ku dingin. Tiba-tiba Mas Raihan mengerem mobilnya

"Jika Mas Raihan keberatan, maka mulai saat ini tidak usah mengantar aku. Aku bisa sendiri" lanjut ku

"Kamu maunya apa sih? Padahal saya sudah usahakan untuk mengantar tapi sekarang kamu berkata seperti itu. Tidak tahu terimakasih"

The Pain I Feel (Proses Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang