Dua

2.1K 83 1
                                    

Pagi ini Zahra sedang melakukan kegiatan setiap harinya yaitu memasak sebelum berangkat sekolah. Pekerjaan rumah ia lakukan sejak pagi dari mulai mencuci pakaian, mencuci piring, menyapu, dan lainnya. Jika ada yang bertanya 'apa sanggup? Apa tidak akan terlambat sekolah?' jawabannya sudah sangat pasti bahwa ia akan terlambat sekolah. Seperti saat ini.

"Yah, Bu, Zahra berangkat sekolah dulu, Zahra sudah terlambat," ucap Zahra seraya mengulurkan tangannya untuk mencium punggung tangan Ayah dan Ibunya, tapi uluran tangannya tak di gubris oleh dua orang di hadapannya.

"Biasanya setiap hari pasti kamu terlambat sekolah, jadi sudahlah biasa aja, nggak usah berlebihan," ucap Linda -Ibu tiri- Zahra. Zahra yang mendengar itu hanya bisa menegarkan hati.

"Ya sudah Yah, Bu. Assalamu'alaikum." pamit Zahra yang tak di gubris sama sekali oleh orang tuanya.

~

Zahra pov

Hari ini aku pasti terlambat lagi, Guru yang biasa menghukumku juga sudah bosan melihat aku setiap hari terlambat. Bukan aku tak ingin menjadi murid teladan yang tepat waktu saat sampai sekolah, aku hanya tidak bisa melawan perintah Ayah dan Ibuku meski rasanya aku sudah tak sanggup lagi.

Aku berlari saat telah turun dari angkot yang aku tumpangi tadi, Huh gerbang sudah tertutup dan aku pasti akan di hukum lagi oleh petugas osis dan guru.

Saat gerbang di buka untuk para murid yang terlambat, aku memasukinya dengan wajah menunduk malu, sangat malu. Bagaimana tidak? Aku seorang murid yang setiap hari mendapat hukuman, dan mendapat peringatan dari sekolah.

"Astaga! Zahra, kamu tidak pernah kapok untuk diberi peringatan!" bentak Pak Wisnu

Aku takut, namun apa lagi yang bisa aku lakukan? Selain menjawab

"Ma-maaf Pak, saya tadi__"
Belum selesai berbicara ucapan ku sudah terpotong terlebih dahulu oleh Pak Wisnu.

"Alasan kamu sudah basi Zahra!" geram pak Wisnu

"Kamu harusnya sudah di keluarkan dari sekolah ini, tapi mengingat kamu sudah kelas 12, dan juga sudah masuk semester terakhir, jadi sekolah memberi kamu kesempatan," sambungnya

"Sekarang cepat kamu lari lapangan tiga kali dan membersihkan kamar mandi!" titah Pak Wisnu yang langsung ku laksanakan karena aku sadar setiap kesalahan pasti ada hukuman, dan aku menerima segala hukuman atas kesalahan ku.

Aku berlari mengelilingi lapangan sesuai perintah pak Wisnu, tak lupa juga aku membersihkan kamar mandi. Lelah? Huh aku rasa itu sudah kebal bagi diri ku, aku tak keberatan sama sekali.

Saat aku memasuki ruang kelas banyak teman-teman ku yang berbisik mengenai diriku. Mulai dari

'Harusnya si Zahra sudah angkat kaki dari sekolah ini!'

'Ratu terlambat datang terlambat lagi'

'Aduh kenapa di biarain sekolah aja sih murid kaya dia?'

dan lain sebagainya.

Aku sudah terbiasa seperti ini karena memang aku lah yang salah.

"Assalamu'alaikum," salam ku saat memasuki ruang kelas

"Wa'alaikumussalam. Zahra kamu terlambat lagi! Kamu harus dapat hukuman dari saya jika kamu ingin mengikuti pelajaran," kata Ibu Rina, Guru bahasa Indonesia ku.

"Maaf Bu, " jawabku sambil menunduk.

"Maaf terus dari dulu. Ibu bosan dengarnya,"

"Sekarang hukuman kamu adalah menampilkan sebuah puisi di depan teman sekelas mu. Apapun itu," titah Bu Rina.

"Ta-tapi Bu, saya tidak bisa," elakku

"Ibu tidak mau tahu! Sekarang juga, atau kamu tidak mengikuti pelajaran ibu?" Titah Bu Rina yang sangat tidak suka di bantah.

"Ba-Baik Bu,"

Ba-bagai burung di sangkar -aku memulai dengan gerogi.

Yang ingin terbang bebas

Mengalunkan kicauan indah

Menikmati setiap sapaan angin

Merasakan hangatnya mentari

Namun, Angannya terlalu tinggi

Kenyataan yang di dapat sangat berbeda

Ia tersiksa di dalam sangkar kecil

Jika bergerak akan terluka

Kicauannya menyiratkan rasa sakit

Badai yang tak kunjung henti untuk menerjang

Panasnya membara seperti api

Tes

Aku mencurahkan rasa sakit ku dengan puisi yang ku bawa dengan asal aku ucapkan, air mata ku meluncur indah tanpa izin. Sesak sekali dadaku. Aku ingin ada seseorang mengerti bahwa aku lelah terus seperti ini.

"Sudah sana kamu duduk," perintah Bu Rina

"Terimakasih Bu." ucapku tersenyum getir.

Aku melangkahkan kaki ke tempat dudukku. Disana sudah ada -Maya- satu-satunya teman sekaligus sahabat baik.

Maya menatapku sendu. Ia tahu bahwa aku tersakiti karena terkadang aku menjadikan dia sandaran di saat aku benar-benar terpuruk, dia juga yang menguatkan ku. Namun, aku tak ingin dia terbawa sedih karena ku. Aku tersenyum kecil untuk meyakinkan Maya, bahwa aku baik-baik saja.

"Zah," panggilnya khawatir.

"Nggak apa-apa May," jawab ku meyakinkan.

"Sabar ya, kamu pasti bisa melewatinya dengan baik," kata Maya memberiku semangat.

"Pasti May." jawab ku dengan tak hentinya tersenyum.

~

Bel istirahat berbunyi, semua murid berhamburan ke luar kelas untuk mengisi perutnya yang sudah di pastikan meronta untuk di beri jatah. Namun, hal itu tak sama dengan Zahra.

"Zah, kantin yuk!" ajak Maya. Aku bingung karena aku nggak diberi uang untuk jajan. Aku hanya diberi ongkos, kadang juga uang yang di beri hanya bisa membayar ongkos saat aku berangkat sekolah saja dan terpaksa ketika pulang aku harus berjalan kaki.

Jika kalian bertanya apakah aku dari keluarga tidak mampu?
Maka jawabannya salah. Ayahku seorang pengusaha, tapi aku di perlakuan sangat tidak adil oleh beliau.

"Hmmm, aku puasa May," alibi ku

"Udahlah, aku yang bayarin," kata Maya

"Eh beneran kok aku puasa hari ini," aku terus membantah.

"Zah, aku tau kamu nggak puasa. Sekarang hari rabu kamu pasti nggak puasa, qodo? Nggak mungkin, karena kamu udah lunas bayar hutang qodo" ucap Maya sangat mengerti tentang keadaan ku.

"Ta-tapi__"

"Udah cepetan ah," ajaknya sambil menarik tanganku

Saat ini aku berada di kantin bersama Maya. Di hadapan ku terhidang nasi goreng yang sangat menggugah selera dan tak lupa satu gelas es susu kesukaanku. Semua itu Maya yang pesan karena ia sangat tahu apa yang aku sukai. Maya itu memang sahabat terbaik ku.

"Maaf ya May, aku sering ngerepotin kamu. Aku janji pasti aku akan membalas semua kebaikan kamu," ucapku merasa tak enak.

"Siap. Aku yakin kamu pasti bisa jadi orang sukses dan hebat," jawab Maya penuh semangat yang membuat ku ikut semangat. Ini yang membuatku semakin sayang sama dia, karena dia Ibu kedua setelah Bundaku.

"Aamiin. In Syaa Allah ya May, do'akan saja." kata ku yang di balas dengan acungan jempol.

Tak terasa bel masuk sudah berbunyi, aku dan Maya kembali ke kelas untuk mengikuti pelajaran selanjutnya.

The Pain I Feel (Proses Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang