Dua Puluh Empat

1.3K 48 0
                                    

Pagi ini menjadi pagi yang berbeda dengan sebelumnya.
Matahari seolah bersinar lebih terang dari hari-hari biasanya.

Senyum yang tak pernah Zahra lihat, untuk pagi ini, senyum itu seperti tak bisa untuk berhenti hanya sejenak.

"Zahra ini Mbak bawa bubur dan obat. Habiskan ya agar cepat membaik" ucap Salsa tersenyum seraya membawa nampak berisi bubur, obat serta air minum

Melihat senyum Salsa membuat Zahra senang bukan main. Pasalnya baru kali ini melihat Salsa tersenyum manis. Tak ada tatapan benci yang biasa ia tunjukkan jika melihat Zahra.

Segala syukur tak henti ia ucapkan dalam hati.

Dengan senang hati Zahra membalas senyum Salsa.

"Terimakasih Mbak. Maaf ya Zahra ngerepotin"

"Sudah kewajiban Mbak kok. Mau Mbak suapin?" tanya Salsa

"Eh tidak perlu Mbak, Zahra bisa sendiri. Lagian sudah sembuh" tolaknya dengan menampilkan deretan gigi putih bersihnya

Di tengah kegiatan Zahra yang sedang memakan bubur, Salsa terlihat ingin mengatakan sesuatu. Membuat Zahra bertanya.

"Ada apa Mbak? Ada yang Mbak bicarakan?"

"Emm__ Soal kemarin, Mbak minta maaf ya" jawab Salsa tertunduk

"Mbak tidak salah kok"

"Tapi karena Mbak, kamu jadi di tampar Mas Raihan"

Zahra tersenyum tipis. Rasanya masih sakit saat mengingat kejadian kemarin. Hatinya berusaha untuk mengikhlaskan apa yang telah terjadi.

"Tidak apa-apa Mbak. Zahra tidak menyalahkan siapapun"

"Dan__ Mbak mau meminta maaf atas kesalahan Mbak. Mbak terlalu egois hingga selalu menunjukkan rasa benci kepada kamu" kini Salsa terisak kecil. Bibirnya bergetar saat mengatakan itu.

Zahra mengerti dengan ucapan Salsa, hingga ia membawa Salsa ke dalam pelukannya.

"Mbak tidak usah menyalahkan diri sendiri. Zahra memakluminya. Karena bagaimanapun pasti akan terasa sulit mengikhlaskan hati untuk menerima keadaan seperti ini. Semua wanita ingin menjadi satu-satunya orang yang di cinta, ingin menjadi satu-satunya ratu di hati dan di kehidupan bersama suaminya. Tak ada yang rela jika di madu. Meski madu manis, namun sengatan lebah itu menyakitkan. Maaf karena aku menjadi lebah sehingga membuat Mbak merasa sakit. Kalau aku tahu Mas Raihan sudah menikah, aku lebih memilih untuk mati" jawab Zahra dengan lembut. Tak ada air mata yang keluar dari kedua mata cantik Zahra.

Mendengar penuturan dari Zahra membuat Salsa semakin merasa bersalah. Selama ini pandangannya kepada Zahra begitu rendah. Ia berfikir jika Zahra sengaja menggoda suaminya.

"Kamu tidak salah. Mbak yang salah karena tidak mengetahui kebenarannya dan Mbak  juga yang egois. Hiks"

"Sudahlah Mbak. Tidak ada yang salah. Semua sudah menjadi takdir. Biarkan kita menjalani takdir yang telah tertulis untuk kita. Lupakan ya Mbak"

Salsa pun melepaskan pelukannya dari Zahra. Di sekanya air mata yang telah ia keluarkan tadi.
Senyumnya melengkung indah.

"Terimakasih"

"Oh ya ampun jam berapa ini Mbak?" tanya Zahra dengan nada cemas

"Sekarang sudah jam 8"

"Aku harus siap-siap Mbak. Aku harus pergi ke kampus" katanya sambil bangkit dari tempat tidurnya

"Tidak ada ke kampus hari ini" ucap seseorang yang sedang bersender di pintu kamar.

"Tapi hari ini Zahra ada jam mata kuliah Mas"

The Pain I Feel (Proses Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang