chapter 20

2.6K 384 158
                                        

ini hanya cerita fantasi, ditulis untuk kesenangan semata, tidak perlu dianggap serius

"Lelah?"

Seokjin menganggukkan kepalanya cepat ketika Praetor Namjoon menoleh padanya dan bertanya dengan nada suara iba pada kondisi Seokjin yang terengah lemas.

Seharian ini Seokjin berlatih mandiri cukup keras. Mengingat masih ada banyak senjata yang belum ia kuasai. Ia adalah putra dewi perang dan sudah seharusnya Seokjin bisa memakai hampir semua senjata yang ada di legiun atau orang-orang di camp akan menertawakan Bellona.

Seokjin tidak mengenal sang dewi tetapi ia merasa perlu menjaga nama baiknya. Apa ini yang disebut ikatan ibu dan anak?

"Kita harus sampai puncak bukit sebelum matahari tenggelam" ujar Praetor Namjoon sambil menatap Seokjin yang duduk lemas di atas rerumputan.

Palatium merupakan pusat dari tujuh bukit sebagai peradaban tertua di Roma. Puing kuil kuno ada di sana. Tetap dipertahankan sebagai warisan walaupun kuil baru yang jauh lebih megah sudah dibangun di atas tanah bukit Palatium.

Tanpa ada angin. Bahkan tanpa meminta persetujuan dari Seokjin, Praetor Namjoon tiba-tiba membawanya keluar dari akademi dan berjalan kaki berdua naik ke puncak. Seokjin tak sempat menolak, terlalu banyak orang yang memerhatikan mereka dan jelas Seokjin tidak ingin melukai harga dirinya sendiri dengan berteriak minta tolong.

"Naiklah"

"Apa-apaan!"

Mata Seokjin melebar dan lisannya spontan memekik tak terima. Praetor Namjoon kini berjongkok membelakanginya. Laki-laki itu menawarkan punggungnya untuk Seokjin.

"Kau bilang lelah" ucap Praetor Namjoon dengan gaya bicara datarnya seperti biasa "Kita harus segera sampai ke puncak dan aku tidak keberatan menggendongmu"

Masalahnya adalah Seokjin yang merasa keberatan! Seokjin memang lemah dan payah tetapi Praetor Namjoon berlebihan dengan memberi tawaran gendongan. Seokjin masih sanggup kalau hanya perlu menyelesaikan perjalanan ke puncak.

"Tidak!" tolak Seokjin lantas berdiri dan ia kembali melangkah meninggalkan Praetor Namjoon yang masih berjongkok.

"Seokjin, jangan berjalan terlalu cepat!" seru Praetor Namjoon dari belakang.

Masa bodoh! Seokjin telanjur kesal dengan perlakuan Praetor Namjoon padanya tadi.  Mereka sesama laki-laki dan Seokjin kerap merasa jika Praetor Namjoon menganggap dirinya setidak berdaya itu.

"Kau harus bisa mengontrol emosimu" lirih Praetor Namjoon ketika telah berhasil jalan menyusul Seokjin di depannya.

Seokjin hanya memberi tanggapan dengan anggukan kepala tak peduli. Seenak saja menasehati Seokjin. Praetor Namjoon itu harusnya membenahi emosinya yang mirip anak remaja labil itu lebih dulu. Sesuka hati menghina dan menyiksa Seokjin tiap hari.

"Saat ujian survival nanti, kau harus bisa bertahan di alam bebas bersama dua orang anggota timmu. Kau harus bisa mengontrol emosi dan jangan lupa gunakan akalmu"

"Bisa mendukungku?". Seokjin menoleh ke belakang dan tersenyum sinis pada Praetor Namjoon yang tampak menikmati semilir angin sore dan pemandangan pepohonan.

"Ya?"

"Tolong berhenti bicara" desis Seokjin kesal "Setidaknya sampai kita di puncak"

Praetor Namjoon mengedikkan bahunya santai. "Kau sensitif sekali hari ini"

Seokjin mendengus. Memilih mengabaikan celetukkan mulut sang pimpinan legiun ke dua belas itu. Seokjin merasa tidak nyaman dengan kondisi sepi di alam terbuka seperti ini. Setidaknya harus segera sampai puncak Palatium karena di atas pasti ramai.

Winter Breeze [NamJin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang