Telah Terbuka yang Tersamarkan

25 3 0
                                    

Samar, Fadhil mendengar masternya sedang bercakap dengan seseorang. Fadhil memilih untuk bersembunyi dan mendengarkan dahulu baru menemui sang Master.

"Fadhil adalah tonggak kemenangan kita. Terus, biarkan dia seperti itu." ucap Master

"Tetapi Master, Fadhil selalu menanyakan tentang lawan dia waktu itu. Dia ingin minta maaf. Kadang, Fadhil mogok latihan karena kami tidak mau memberitau tentang lawan dia waktu itu." tutur salah satu murid senior Master.

"Tidak masalah. Biar aku yang berbicara pada Fadhil. Panggil Fadhil kemari."

Selepas Master mengatakan seperti itu, Fadhil keluar dari tempat bersembunyi.

"Tidak perlu Master. Saya sudah disini."

Master dan murid senior menatap Fadhil kikuk. Fadhil memang lebih gesit dari yang mereka pikirkan. Sangat gawat kalau Fadhil berhasil tau rencana mereka. Fadhil akan keluar dari perguruan ini.

"Lupakan lawan mu itu, Fadhil. Jika kamu terus mengingat tentang dia, kamu akan menjadi lemah. Aku juga melarang keras kamu memiliki kekasih. Karena dia adalah kelemahan mu. Aku tidak suka kamu lemah." ujar Master blak-blakan.

Fadhil memangkas jarak diantara dirinya juga dengan sang Master. "Saya merasa bersalah karena telah melukai lawan kala itu dengan sebegitu parah, Master. Saya hanya ingin meminta maaf. Tidak lebih tidak kurang. Soal kekasih, itu adalah urusan pribadi dan Master tidak punya hak untuk mengatur. Perlu diingat Master, saya mengikuti perguruan untuk menjaga diri saja. Tidak mau terikat dengan misi dan ambisi Master. Jika saya tau Master memanfaatkan kemampuan saya, akan segera keluar dari perguruan ini." tegas Fadhil.
                    
                          ***

Fadhil memijat kepalanya. Sakit sekali jika mengingat kejadian itu. Namun, tentu lebih sakit rasa yang ditanggung lawan bertandingnya kala itu.

Fadhil merasa kepalanya semakin berat. Ia akhirnya duduk dikursi didepan ruang perawatan Tania. Tania sudah ditangani dokter. Ia dapat bernapas lega sejenak. Untuk masalah ini, Fadhil belum menemukan siapa yang ia lawan kala itu. Ia hanya memiliki satu petunjuk.

"Fadhil, ayo segera menepi. Tenang saja, tim medis segera turun tangan." salah satu senior menarik paksa tangan Fadhil dari arena tarung. Seperti mencegah Fadhil menemui lawan yang hampir ia tewaskan.

Suasana gedung berubah seperti peternakan lebah. Kacau sekali. Tim medis berlarian menuju tengah lingkaran, mengobati petarung yang tergeletak disana. Darah menggenang menutupi matras yang berwarna biru, awalnya.

Teman-teman dari perguruan si lawan menatap Fadhil murka terlebih lagi pada senior yang menarik Fadhil dengan paksa.

"Aaalllggghhiii..."

Senior yang menarik Fadhil menutup rapat-rapat telinga Fadhil. Fadhil mengerutkan dahi. Mengapa seperti ini? Apa yang mereka sembunyikan?

Karena itulah tadi ia menatap Farra yang mengucap nama.. Siapa? Alghif? Ada kemiripan nama. Apakah dia lawan yang pernah Fadhil serang saat pertandingan kala itu?

"Fadhil," Fadhil mendongak. Farra.

"Ini, minum dulu." kata Farra sembari mengulurkan sebotol minuman dingin. Fadhil menatap sekilas, kemudian menerima pemberian Farra. "Terimakasih."

Samar, Farra mengangguk. Fadhil meneguk setengah dari isi botol tersebut. Farra duduk berjarak dari Fadhil, dua kursi rumah sakit. Farra juga menempatkan tasnya ditengah-tengah, sebagai pembatas.

"Kamu tidak pergi? Sepertinya kamu ada janjian dengan seseorang." Fadhil memulai pembicaraan. Lirih, Fadhil melihat Farra tersenyum. "Aku belum pamit sama Tante. Nanti kalau Tante masih mencariku bagaimana? Menunggu kamu mengirim surat lagi?"

My Lovely SeniorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang