Dua Permintaan

26 4 2
                                    

Senja beranjak turun. Lampu-lampu di taman rumah sakit mulai menyala. Hewan-hewan malam mulai berderik. Hawa dingin perlahan merasuki tubuh.

Nomor yang anda tuju, tidak dapat dihubungi. Cobalah beberapa saat lagi.

Farra mengeluh kesal. Sudah hampir 20 kali ia menghubungi Hanna, namun Hanna tidak menjawab. Farra jadi khawatir sendiri. Sebelum pergi, Ravid mengatakan kalau Hanna adalah incaran empuk bagi musuh bebuyutan keluarga Presdir Naufal. Jika Hanna tiada, maka hak waris keluarga Presdir Naufal akan di waris kan kepada orang lain.

Farra sebenarnya tidak terlalu mengerti tentang urusan keluarga Hanna. Ia hanya khawatir terhadap bahaya yang mengancam Hanna. Baginya, Hanna adalah saudara kandungnya sendiri.

Farra menyandarkan punggung pada salah satu pohon di taman rumah sakit. Masih berusaha menghubungi nomor Hanna.

Tiba-tiba, dari balik pohon terulur sebatang cokelat. "Kata orang, cokelat bisa membuat mood menjadi lebih baik." Fadhil tersenyum. Farra menatap cokelat dan Fadhil secara bergantian. "Terima kasih." Farra menerima cokelat itu.

Fadhil duduk dibangku taman yang hanya selemparan batu dari tempat Farra berdiri. "Kamu terlihat sangat menghawatirkan Hanna." kata Fadhil tanpa menatap wajah risau Farra. Karena menatap wajah Farra seperti menatap bulan purnama. Itu membuat Fadhil jadi salah tingkah.

Farra menempelkan handphone nya pada bibir, "Hanya dia yang mengerti tentang aku. Hanna sudah aku anggap saudaraku. Aku tidak pernah tau kalau dia di landa masalah pelik selama ini. Aku selalu bercerita kepada Hanna, seakan.. Aku adalah orang yang paling terluka. Tapi ternyata...." Farra mengusap air mata yang sudah menggenang di pelupuk.
"Dia lebih terluka...." Farra menggigit bibir.

Fadhil terpana. Sebegitu dalam Farra menghargai Hanna. Hanna sangat beruntung memiliki teman seperti Farra. Namun, yang menjadi pertanyaan dalam diri Fadhil, Akankah Hanna juga menghargai Farra sebegitu dalam?

"Andai ada cara untuk dapat membeli pertemanan kami agar dapat abadi, pasti sudah aku lakukan." Farra menetes kan air mata, akhirnya. Rasa bersalah sudah menghantui dirinya.

Tubuh Fadhil bergetar. Ingin rasanya merengkuh tubuh mungil Farra pada pelukannya sembari berbisik tentang apa yang ia ketahui perihal Hanna. Fadhil akhirnya menyadari, mau se bodo amat apapun kepada gadis itu, masih ada rasa yang bercokol didalam hati.

"Oi.. Fadhil!" seseorang memanggil Fadhil.
Fadhil mencari sang pemanggil.
"Saddam?"
Farra menengok, "Loh.. Sasa?" Farra terkejut saat tangan Sasa digenggam erat oleh Saddam.

"Kalian berdua ngapain disini? Pacaran ya?" tebak Sasa. Farra menatap Sasa tajam. "Mana ada."
"Trus, ngapain kak Farra berduaan sama sepupu gue?" Saddam menyahut.
"Lo juga ngapain berduaan, gandengan tangan kayak gitu?!" Fadhil juga ikut menyahut.

"Sudahlah Kak. Baru pacaran juga kayak gitu. Gak mau ngaku." cibir Saddam diiringi gelak tawa. "Gue tunggu pengakuan lo Farr. Kan bagus kalo kita bisa jadi ipar." Sasa terkekeh.

"Ipar?"

"Iya kak. Aku tau kakak sama Fadhil masih malu-malu. Kalau gitu, kita berdua langsung capcus aja ke kamar Tante yah... Dada.." Saddam merengkuh bahu Sasa, berputar balik dan entah membicarakan apa.

Hening.. Kedatangan Sasa dan Saddam sangat merusak suasana.

"Farra, sebentar lagi masuk waktu Isya'. Kamu mau tetap disini apa pulang ke pesma?" tanya Fadhil memecah keheningan. "Aku.. Pulang saja ya."
Fadhil mengangguk. "Boleh aku antar?.."

"Aku bawa motor.."
"Loh.. Terus, Hanna...?"
"Kami tadi berboncengan. Tapi aku tidak tau Hanna pulang naik apa." Farra menatap langit hitam.

"Meski baru jam segini, jarak pesma dengan rumah sakit lumayan jauh, Farra. Aku membuntuti di belakang ya," pinta Fadhil bersikeras. Kali ini lebih memelas. Farra tampak berpikir. Ia sangat keberatan. Dendi saja tidak pernah seperti itu kepada Farra.

My Lovely SeniorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang