Farra menatap kaca mobil yang berembun. Hujan diluar sudah tidak deras. Mobil Hanna membelah genangan air yang lumayan besar. Air terciprat kemana-mana. Meski pun masih hujan, tidak mengurangi tingkat keramaian jalanan pagi hari.
"Farra, kamu kenapa?" tanya Hanna, melihat wajah lesu Farra. "Kamu takut Fadhil kenapa-napa, ya?" selidik Hanna. Mereka dalam perjalanan menuju stadion tempat Fadhil mengikuti turnamen.
Ravid membunyikan klakson mobil, menyuruh kendaraan lain sedikit menyingkir. Ravid? Tentu saja. Dia yang mengemudikan mobil Hanna. Farra sendiri masih belum tau bagaimana ceritanya Ravid menjadi orang kepercayaan keluarga Hanna.
"Bukan." Farra menghempaskan punggung pada kursi mobil. "Pertama, mengapa harus Ravid yang mengemudi?!" sambung Farra protes. Saat Farra mengajak Hanna menonton turnamen, Hanna memang mengusulkan untuk naik mobil pribadi nya saja. Setelah selesai menonton turnamen, Hanna berencana akan mengatakan apa yang dia sembunyikan dari Farra selama ini sembari menghabiskan makan siang. Jadi lebih enak menggunakan mobil pribadi.
"Farra, Papa hanya percaya pada dia jika aku pergi tanpa bodyguard. Percaya saja. Dia dapat diandalkan kalau soal berbohong kepada Papa." Hanna meyakinkan Farra.
"Terus terang saja Nona, saya tidak bisa terus berbohong kepada Tuan." sahut Ravid tidak terima.
Hanna cemberut. Karena Hanna duduk dibelakang kursi kemudi, Ravid dapat melihat sekilas ekspresi wajah Hanna dari pantulan kaca.
"Eh... Tidak.. Tidak. Saya hanya bercanda Nona,"
Hanna memajukan badannya, agar dapat membisiki Farra, "Tuh kan.." Hanna tertawa licik. Farra menggeleng-gelengkan kepala. Dasar.
"Tadi kamu bilang, 'pertama'. Apa masalahmu yang kedua?" tanya Hanna penasaran. Farra kembali menggeleng. "Tidak jadi."
"Fadhil ya?" Hanna tidak menyerah. Masih penasaran. "Terus terang, di otakku ini tidak hanya merekam tentang Fadhil." Farra merasa jengkel.
Hanna menyerah. Ia membiarkan Farra terus diam. Hanna akhirnya membuka HP agar tidak bosan.
Farra tidak berselera membuka HP. Farra menyangga kepala menggunakan tangan kanan, kembali menatap pemandangan luar. Farra sedikit menyingkap lengan baju, hingga terlihat dua gelang yang melingkar disana. Hati Farra terasa gundah. Entah karena apa.
HP Farra berdering, ada panggilan masuk dari Dendi. Farra me-reject panggilan tersebut. Masih malas berkomunikasi dengan Dendi. Bahkan, Dendi saja tidak tau kalau Farra akan menghadiri turnamen. Tetapi, entah kalau Alghif memberi tau.
"Nona, kita hampir sampai." seru Ravid.
Farra dapat melihat bangunan stadion. Mobil Hanna berbelok kesana. Ravid mencari tempat parkir dekat dengan pintu masuk utama.
Mereka berlompatan turun. Hujan sudah reda, menyisakan genangan air dan hawa sejuk.
"Itu... Kenapa pintu utama terlihat sangat ramai dan berdesakan? Bukankah ada beberapa pintu lagi?" tanya Hanna melihat suasana di pintu utama.
"Sepertinya, hanya pintu utama yang dibuka, Nona. Hanya ada satu pintu sebagai tempat keluar dan masuk. Pintu lainnya tidak dibuka. Kita menunggu agak sepi saja." saran Ravid. Ia cepat menganalisis keadaan sekitar.
"Aku rasa, tidak ada salah nya mendekat. Lagi pula sepertinya, keramaian tidak akan berkurang karena sebentar lagi turnamen akan di mulai. Aku yakin, saat turnamen pintu pasti di tutup." Farra menyangkal analisa Ravid.
Hanna mengangguk. "Aku setuju dengan Farra. Ayo Farr," Hanna mengapit tangan Farra, tidak peduli lagi kalau Farra masih jengkel kepadanya.
"Ta.. Tapi Nona?"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lovely Senior
RomanceKetika orang yang pernah kamu sukai menjadi adik tingkat mu, apa yang kamu lakukan? Ketika orang yang pernah kamu sukai menfitnah mu, apa yang kamu lakukan? Itulah yang dialami oleh Nafisya Afarra Fathia atau lebih akrab dipanggil Farra. Farra berus...