Menyayat Luka

50 4 0
                                    

Hanna tidak dapat mempercayai apa yang diceritakan Farra. Tapi melihat Farra menangis seperti ini, sungguh berat menyimpulkan kalau Farra berdusta.

Hanna tidak terkejut jika Fadhil kembali. Tapi mengapa Fadhil begitu percaya diri dengan membawa Farra ke unit kesehatan? Hanna masih ingat, bagaimana Fadhil mengiris kepercayaan Farra.

Tangis Farra memang sudah mereda. Namun bahunya kerap berguncang hebat.

"Hanna... Hanna.... Ajak aku pergi lagi, Hanna... Ajak aku menghilang lagi...." Farra menarik-narik baju Hanna. Hanna menatap Farra iba. Kenyataan pahit itu harus ditelan bulat-bulat olehnya.

"Farra..." Jemari Hanna menyentuh lembut pipi Farra. Berusaha memenangkan Farra yang tak terkendali. Hanna menghela napas. Farra terlalu sering melawan reas sakitnya.

"Jangan... Jangan dilawan. Semakin kamu lawan, semakin kuat pula hantu mu menyerang. Kamu jelas lebih tau dari pada aku soal itu. Jangan lari. Hidup bukan pelarian Farr. Hadapi saja. Aku ada dibelakang mu." Hanna tersenyum lembut.

Farra menunduk. Memorinya berputar-putar dikepalanya. Tentang hari itu, tentang ia dirugikan dengan orang yang ia sukai.

                          ***

Perlahan, mata Farra memerah. Tangan Farra juga mengepal kuat. Ustadz Rahman juga menatap tajam Farra. Hanna masih terus membaca ulang surat tadi.

"Ustadz, ini bukan tulisan Farra. Tulisan ini terlalu bagus untuk Farra. Dan kata-kata ini masih level rendahnya Farra. Farra bisa_"

"Sudah protesnya Hanna? Bukti terkuat ada dibagian bawah surat itu. Naf. Bukankah itu nama singkatannya Farra? Diperkuat lagi dengan tulisan 'Farra' setelah Naf. Tidak ada bukti yang membuat Farra selamat dari ini. Saya sungguh sangat kecewa. Saya pikir, kamu anak baik-baik. Ternyata.... Ya Allah... Anak zaman sekarang. Saya akan menelepon orang tuamu." kata ustadz Rahman sembari meraih handphonenya.

Sempurna, air mata Farra jatuh.
BBRRAAAKKK!!!!

Farra sudah tidak memperdulikan sopan santun. Bahkan handphone ustadz yang sudah berada ditelinganya, jatuh meluncur kebawah. Hanna mendesis kecil. Terkejut dengan apa yang dilakukan Farra.

"Ustadz...... Saya... Tidak pernah melakukan ini saya,_"
"Oh.. Keterlaluan kamu Farra! Ternyata sudah berani melawan kamu?!"

"Ustadz asyik menyimpulkan sendiri! Ustadz sama sekali tidak memberikan saya kesempatan untuk berargumen! Kalau begitu.... Kalau begitu, untuk apa saya harus hormat kepada orang yang tidak mau mendengar argumen orang lain!!!" Farra menangis, terisak.

Farra melakukan hal yang tidak patut ia lakukan. Farra telah mendobrak meja ustadz dan kemudian ia marah-marah sembari berdiri. Dalam sejarah, hanya Farra yang pernah melakukan seperti itu.

"Kita selesaikan masalah ini. Setelah orang tuamu datang." kata ustadz sembari meraih hpnya yang jatuh.
"Kalian boleh keluar sekarang." perintahnya. Tapi Farra mana mau mendengarkan.

"Tidaak!!" seru Farra keras. Menggemakan seisi ruangan.
"Kita selesaikan masalah ini dengan pefitnah keji itu. Ayah dan Bunda tidak ada sangkut pautnya dengan ini! Ayah tidak pernah memberi saya makanan haram! Bunda juga tidak pernah salah mendidik saya!!"

Hanna diam ditempatnya. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Tidak ada gunanya menenangkan Farra disaat seperti ini.

"Lantas kamu berprilaku tidak sopan dihadapan saya, harus salahkan siapa?!" ustadz berseru tak kalah tingginya. Bedanya ustadz tetap duduk dikursi.

Farra menyengka air matanya yang mulai mengalir deras.
"Bunda bilang, jangan pernah takut jika kamu tidak salah. Belalah harga dirimu. Manusia memang licik. Namun dibanding kekuatan Allah, kelicikan tersebut hanya butiran debu."

My Lovely SeniorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang