Delapan Belas

3K 160 0
                                    

Sore tadi, Biana dan kedua orang tuanya melesat menuju ke Yogyakarta. Tepatnya ke rumah neneknya Revon. Rumah wanita lanjut usia itu cukup besar. Jadi, Biana dan kedua orang tuanya bisa bermalam di situ saja daripada nginep di hotel. Kedua orang tua Revon tidak salah memilih tempat dalam penyelenggaraan pernikahan putra mereka. Halaman rumah nenek Revon itu sangat luas, pas untuk acara ini.

Sedari tadi, Biana mondar mandir di dalam kamar itu sambil menggigiti kuku-kukunya. Ia gelisah, perasaannya tak karuan. Biana membuka jendela kamarnya lebar-lebar, berharap angin malam bisa menenangkan pikirannya.

Dari tempat Biana berdiri, ia dapat melihat kesibukan orang-orang di halaman rumah. Mereka memasang tenda pernikahan, menata meja dan kursi tamu, membuat panggung untuk ijab kobul, dan masih banyak lagi.

"Nduk, kok jendelanya dibuka?"

Biana membalikkan badannya ketika mendengar suara seseorang. "Eh, Oma. Iya, Biana lagi lihat orang-orang yang mempersiapkan pernikahan untuk besok."

Wanita itu, nenek Revon. Namanya Oma Siti. Tadi sore, Biana diminta untuk memanggil beliau dengan sebutan Oma. Biar sama seperti Revon.

Oma Siti duduk di tepi ranjang. Ia menepuk-nepuk sebelahnya yang kosong, mengisyaratkan agar Biana duduk di sampingnya. Peka, Biana duduk di samping Oma Siti dengan canggung.

Wanita tua itu mengelus rambut Biana dengan sayang. "Kamu cantik," ucapnya.

Biana tersenyum malu. "Terima kasih, Oma."

"Besok kamu menikah dengan Revon, cucu Oma satu-satunya."

Biana mengangguk kecil. Ia mendengarkan Oma Siti bicara dengan baik.

"Pernikahan itu sakral, Nduk. Orang menikah baiknya hanya sepisan atau satu kali. Meski pun kamu dan Revon dijodohkan, Oma percaya, suatu saat kalian akan saling cinta," ucap Oma Siti. "Cinta tumbuh karena rasa nyaman. Rasa nyaman ada karena kebersamaan," lanjut Oma Siti.

"Iya, Oma," ucap Biana. Ia bingung harus ngomong apa.

Oma Siti meraih tangan Biana dan mengusapnya lembut. "Revon baik, kok. Dia anak sholeh dan pandai menghargai orang lain."

"Iya, Oma. Biana tahu kalau Revon anak baik," ucap Biana jujur.

Oma Siti mengerutkan keningnya. "Kok manggilnya Revon?" tanya Oma Siti bingung.

Biana lebih bingung setelah mendengar pertanyaan Oma Siti tersebut. Nama calon suaminya kan memang Revon, salah kalau Biana memanggilnya begitu?

"Besok kalian menjadi suami istri. Seharusnya kamu panggil Revon dengan sebutan yang romantis dan sopan. Misalnya 'Mas', Abi, Papa, Ayah, atau sayang," ucap Oma Siti menjawab kebingungan Biana.

Biana menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "I-iya, Oma."

Oma Siti menepuk pelan paha Biana, kemudian ia berdiri. "Oma keluar dulu, ya. Kalau kamu belum mengantuk, nonton tv saja. Revon juga sedang nonton tv di ruang keluarga," ucap Oma Siti.

Biana mengangguk. "Iya, Oma. Kalau Biana susah tidur, nanti Biana nyusulin Revon nonton tv."

"Revon lagi? Oma sudah bilang, jangan panggil Revon. Besok dia sudah menjadi suami kamu," tegur Oma Siti dengan lembut.

"Eh, iya. Maaf, Oma," ucap Biana merasa bodoh.

Oma Siti tersenyum, lalu ia keluar dari kamar itu dan menutup pintunya.

Biana membanting tubuhnya ke kasur. Ia tidur terlentang dan menatap langit-langit. Kemudian, ia teringat kedua sahabatnya.

- HuraHuraUlalaa -

JASEN (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang