Tiga Puluh

3.9K 166 0
                                    

Pemakaman sangat ramai saat itu. Semua guru SMA Pancasila hadir, ditambah teman-teman dan segenap keluarga Andria. Sekolah dibebaskan hari ini karena guru-guru juga sibuk melayat.

Pradit di barisan terdepan, menyaksikan dengan jelas ketika Andria dikebumikan. Air matanya sudah mengering, ia bertekad untuk tidak menangis lagi. Kasihan Andria, nanti tidak tenang jika ditangisi berlebihan.

Anak Zolvenior juga hadir semua disitu. Para anggota inti menguatkan Pradit di samping kanan kiri.

Pemakaman Andria selesai. Seluruh pelayat sudah pulang, hanya menyisakan beberapa orang saja. Pradit tak mau beranjak dari situ. Ia membawa buket bunga mawar dan menaruhnya di dekat nisan Andria.

"Kita balik ke sekolah yuk, Dit!" ajak Gibran.

Pradit tidak menyahut. Ia mengelus nisan bertuliskan nama Andria, nama Papa Andria, tanggal lahir, dan tanggal meninggalnya.

"Kamu yang namanya Pradit?"

Pradit berdiri ketika Mama Andria bertanya kepadanya. Pradit mengangguk lemah menanggapi pertanyaan wanita itu.

Mama Andria memberikan buku diary berwarna tosca dengan tulisan Andriana di sampulnya. "Punya Andria, ada bagian yang menceritakan tentang kamu."

Pradit menerima buku itu. "Terima kasih, Tante."

"Tante pergi dulu. Ikhlaskan Andria, ya. Tante juga akan ikhlaskan agar anak Tante tenang." Wanita itu tersenyum tulus, meski ada gurat kesedihan yang mendalam di wajahnya. Kemudian, ia pergi meninggalkan area pemakaman.

"Ayo, Dit," ajak Galang.

Pradit berjongkok lagi. Ia mencium nisan Andria dan berbisik, "I love you, Andriana Hana Pertiwi."

^^^^^

Dari pemakaman Andria, seluruh anak Zolvenior, Regita, Leuren, dan Biana menuju ke warung Mang Wedi. Percuma juga kan ke sekolah.

"Bep, tahu gak bedanya kamu sama pulpen?" tanya Galang. Tangan Leuren berada dalam genggamannya.

Leuren menggeleng. "Nggak tahu, emang apa bedanya, Bep?"

"Kalau pulpen buat nulis tugas, kalau kamu nulis kebahagiaanku."

"Aaaaa ... Bebep bisa aja, ih."

"Apaan sih, Lang. Basi banget," cibir Gibran.

"Lo juga apaan, sirik aja bisanya. Cari pacar sonoh!" ucap Galang.

"Eh, Regita! Duduk sini aja nih, deket Jasen. Ngapain juga lo jadi obat nyamuknya Revon sama Biana?" ucap Sendra.

Regita yang asik bermain ponsel di sebelah Biana melirik Sendra secara sekilas. "OGAH! Nggak mau gue duduk deket-deket cowok gak punya hati!"

Jasen yang merasa tak terima dengan ucapan Regita pun berdiri. "Gak punya hati? Tapi kamu sayang kan?"

Regita ikut berdiri. "NGGAK!"

"Kalo udah nggak sayang, kenapa aku gak diputusin aja?" pancing Jasen.

Regita berjalan mendekat ke arah Jasen. Kini, mereka berdua berhadapan dan saling menatap tajam.

"Jadi, kamu pengin diputusin?" tanya Regita dengan nada tak santai.

Jasen bungkam. Pasangan itu kini menjadi pusat perhatian anak-anak Zolvenior. Semuanya memperhatikan ketua mereka yang tengah beradu mulut dengan Regita.

"Kenapa diam?!" bentak Regita. "Kamu pengin diputusin? Biar bisa balikan tuh sama Velika yang udah ngilang tiga tahun. Iya, Sen?"

Jasen tetap tidak mau menjawab. Lelaki itu kembali duduk di samping Pradit. Biana yang menyadari situasi di situ pun menghampiri Regita.

"Udah, Re. Makan aja, yuk!" ajak Biana.

Regita membalikkan badannya. Ia mengambil ransel yang ia letakkan di atas meja dan pergi dari warung Mang Wedi.

"Mau kemana, Re?! Regitaa!" Leuren berteriak agar Regita yang sudah cukup jauh itu mendengarnya.

"PULANG!" jawab Regita sama-sama berteriak.

BRAKKKK

Jasen menggebrak meja di depannya, lalu mengusap wajahnya dengan kasar. Perasaannya benar-benar tak karuan. Orang-orang di situ pun tidak ada yang berani bersuara. Warung Mang Wedi yang tadinya ramai menjadi hening.

Pradit sedari tadi membuka-buka buku diary tosca di tangannya. Ia membacanya dari halaman pertama, diary yang Andria tulis ketika baru masuk SMA. Andria anak yang baik dan aktif, ia banyak menulis tentang teman-teman dan keluarganya. Tidak ada satu pun yang ia tulis tentang cinta. Hingga di lembar terakhir, Andria menulis tentang Pradit.

Dear, Pradit Renovendra ...

Aku tak tahu kenapa aku bisa menjatuhkan hati padamu. Kamu yang selalu membuatku bahagia ketika aku melihatmu. Kamu yang selalu melintas di pikiranku dan hinggap di sana. Kamu yang membuat hatiku terkunci hingga tak satu pun orang bisa masuk ke hatiku kecuali kamu.

Dit, aku adalah pemilik hatiku. Hatiku milikku. Aku bebas mencintai siapa pun, termasuk mencintai kamu. Dan aku tidak pernah sekali pun memaksa kamu untuk mencintaiku. Karena itu hatimu, kamu berhak mencintai siapa pun juga.

Aku tidak pernah memaksa, Dit. Aku hanya merasa kalau kamu patut kuperjuangkan. Aku selalu menutup telingaku dari hal-hal yang membuatku sakit, seperti penolakanmu misalnya.

Aku akan selalu mencintaimu, Dit. Jika suatu saat aku berhenti mengejarmu, bukan berarti aku tidak mencintaimu lagi. Tapi, karena aku lebih memilih untuk membiarkanmu bahagia tanpaku.

-Andriana Hana Pertiwi-

Pradit meneteskan air matanya. Namun, buru-buru ia usap. Pradit melirik Jasen yang duduk di sebelahnya. Ia tampak gusar dan tidak tenang.

"Minta maaf sama Regita, Sen. Kejar dia, jangan dilepas, lo harus ngalah. Jangan sampai lo nyesel kayak gue."

Jasen mencerna baik-baik ucapan Pradit. Sepertinya benar, ia harus meminta maaf pada Regita dan memperbaiki lagi hubungannya itu. Regita baik, mencintai dia dengan tulus. Jasen akan rugi dan menyesal kalau ia melepas Regita.

"Jadi gimana nih sama anak Galaksi yang udah nabrak Andria?" tanya Sendra.

Jasen mengembalikan fokusnya pada Zolvenior. Pelaku tabrak lari itu harus ditemukan. Apalagi pelakunya adalah anak Galaksi, anak SMA Tunas Bangsa.

"Kita harus cari pelakunya, sampai ketemu!" tegas Pradit.

"SETUJU!" sahut seluruh anak Zolvenior.

"Tapi gimana caranya?" tanya Gibran.

"Kita serang markas Galaksi," ucap Jasen yakin.

^^^^^

JASEN (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang