Tiga Satu

3.9K 165 5
                                    

"EVAN! KELUAR LO, VAN!!!" Jasen berteriak di pintu markas Galaksi. 200 anggota Zolvenior ikut menemaninya.

Evan, ketua geng Galaksi keluar dari markas mereka bersama pengikutnya. Markas itu cukup besar dengan cat hitam, tapi masih lebih besar markas utamanya Zolvenior. Di bagian depan ada tulisan grafiti yang terlihat apik.

"Apa-apaan, nih?" tanya Evan panik karena tidak siap markasnya diserang secara mendadak.

"Ngapain kalian ke sini?!" Yogas, wakil Galaksi juga sama paniknya dengan Evan.

"Goblok jangan dipelihara! Keluarin anggota bangsat lo yang udah nabrak lari anak Pancasila!!" ucap Pradit menggebu-gebu.

Evan dan Yogas saling pandang. Anak-anak Galaksi yang berada di belakang mereka juga berbisik-bisik.

"MAKSUD LO APA?!" bentak Evan. "Anak Galaksi gak pernah yang namanya nabrak orang!"

Jasen mendekat dan berdiri di hadapan Evan persis. "Keluarin orang yang udah nabrak anak Pancasila, sekarang! Jangan jadi pengecut!!" ucap Jasen.

"Gue beneran gak tahu!" elak Evan.

"SERANGGGGGG!!!" teriak Jasen.

Mereka berhamburan jadi satu. Jelas Galaksi kalah jumlah. Zolvenior 200, sedangkan Galaksi hanya 40. Sebenarnya anak Galaksi ada 170, tapi tidak sedang kumpul di markas semua.

"STOP!" teriak Evan. Ia tidak mau melanjutkan pertarungan ini. Selain karena markasnya susah hancur berantakan, Galaksi juga sudah dipastikan akan kalah.

Semua orang berhenti saling pukul. Fokus mereka berada pada Evan dan Jasen sebagai ketua.

"Gue gak pernah tahu ada anak Galaksi yang nabrak anak SMA Pancasila, Sen," ucap Evan.

"Ada saksi matanya! Mereka liat orang yang nabrak pake jaket Galaksi, anak SMA Tunas Bangsa, anak buah lo!" tegas Jasen.

Revon menghampiri Jasen, ia paling dewasa dan selalu bisa memberi solusi. "Percuma, Sen. Evan gak tahu apa-apa. Mending kita cari tahu sendiri dulu."

^^^^^

Regita menuruni tangga menuju ke ruang tamu. Ia mengenakan baju tidur bermotif marsha and the bear. Elang baru saja memberitahu kalau ada Jasen yang bertamu malam-malam ke rumahnya.

"Ngapain kamu ke sini?" tanya Regita ketus.

Armita meletakkan secangkir teh di hadapan Jasen. "Kayaknya lagi marahan ya?" tanyanya. "Mami ke kamar aja, deh. Selesaikan masalahnya, ya. Jangan kayak anak kecil yang dikit-dikit marahan." Armita pergi dari ruang tamu, meninggalkan Regita dan Jasen.

"Ekhemm." Jasen berdehem. "Jalan yuk, Re!" ajaknya.

"Tumben?"

Jasen meraih tangan Regita dan mengusapnya. "Aku minta maaf."

Regita menjauhkan tangannya, dan mendengus kecil.

"Maaf, Re."

"Iya."

"Dimaafin?"

"Iya."

"Jangan marah, dong."

"Nggak."

"Kamu marah."

"Nggak, Jasen."

Jasen melemas, ia menyandarkan kepalanya pada sofa. Sedangkan Regita menatap kosong ke bawah. Suasana menjadi hening, canggung sekali.

"Aku pulang, ya." Jasen berdiri, ia memasukkan ponsel yang ia letakkan di meja ke saku celananya. "Bilangin ke Mami kalo aku pulang."

Regita menatap Jasen. Ia ingin menahan agar Jasen tidak pulang secepat itu. Namun, Regita mendadak bisu sampai akhirnya Jasen benar-benar pergi dengan motornya.

^^^^^

"Andria anak SMA Pancasila, dia meninggal karena ditabrak sama anak SMA lo. Yang nabrak pergi gitu aja, dan dia anak Galaksi."

Fahra menatap Gibran dengan tatapan kosong. Pikiran Fahra kemana-mana. Ia tahu tentang kecelakaan itu dari teman-temannya. Namun, ia tidak tahu kalau anak SMA Tunas Bangsa yang menjadi pelaku tabrak lari itu.

"Pelakunya udah ketemu?" tanya Andria.

Mereka berdua tengah menghabiskan malam berdua. Setelah Gibran mengajak Fahra makan di penjual nasi goreng, ia mengajak Fahra berjalan-jalan di taman. Mereka sudah dua hari tidak bertemu. Gibran sibuk, tidak sempat menemui Fahra.

"Belum, Ra. Makanya gue sama temen-temen gue bingung banget. Apalagi Andria itu lagi deket sama Pradit, wakil Zolvenior," ucap Gibran.

Fahra diam, ia tidak tahu harus berkata apa kepada Gibran.

"Keluarga Andria juga nggak memperpanjang, mereka gak lapor ke polisi."

"Kenapa Zolvenior gak nyamperin markas Galaksi aja?"

"Udah, Ra. Tapi Evan ngaku kalau dia gak tahu apa-apa."

Fahra duduk di salah satu kursi taman. Gibran juga ikut duduk dengan lesu. Lelaki itu menyandarkan kepalanya di bahu Fahra. Dan Fahra pun mengusap lembut kepala Gibran yang kelihatan sangat lelah itu.

"Gue bakal bantu cari pelakunya, Bran," ucap Fahra.

Gibran mengangkat kepalanya dan menatap Fahra. "Gue gak mau lo jadi mata-mata, Ra. Bahaya."

Fahra tersenyum. "Gue anak Tunas Bangsa, gue lebih tahu tentang Galaksi daripada lo."

"Makasih."

"Iya."

"Pulang, yuk!"

Fahra mengangguk. Gibran menggenggam tangannya menuju ke motor yang diparkir di depan taman. Di perjalanan, Fahra juga memeluk perut Gibran. Mereka berdua tidak seperti biasanya yang sering adu mulut. Malam ini mereka berdua sangat romantis. Mungkin karena sama-sama rindu setelah dua hari tidak bertemu.

"Waktu lo tinggal empat hari, Bran," bisik Fahra di telinga Gibran. Ia meletakkan dagunya di bahu lelaki itu.

"Gue tahu, Ra."

"Dan gue udah jatuh cinta sama lo."

Gibran menghentikan laju motornya. Ia menengok ke arah belakang, menatap manik mata Fahra.

"Beneran?" tanya Gibran.

Fahra mengangguk yakin.

Gibran kembali menatap ke depan. Ia menggigit bibir bawahnya, menahan agar jeritannya tidak keluar saking senangnya.

"Fahra?" panggil Gibran. Tatapannya masih lurus ke depan, menatap jalanan.

"Iya."

"Fahra?"

"Iya, Gibran."

"Fahra?"

"Apa sih?!"

"Jadi pacar gue mau?"

^^^^^

JASEN (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang