16. Tragedi Zaki, Tongkol dan Cabut

468 55 16
                                    

Jam nunjukin pukul dua belas siang. IPA4 lagi pelajaran Matematika sebagai pelajaran terakhir sebelum istirahat kedua. Gue nguap bosen ngedengerin penjelasan Bu Linda. Sera apalagi, dia susah payah nahan kedua matanya biar tetep melek.

Ditengah suasana kelas yang kondusif, tiba-tiba Bimo maju ke depan kelas. Sejujurnya gue syok, beneran nih Bimo mau ngerjain contoh soal di papan tulis?

"Maaf, Bu, saya mau ijin nganterin Zaki ke klinik Satelit di deket lampu merah," kata Bimo. Seketika semua mata langsung noleh ke Zaki yang nidurin kepalanya di meja.

"Loh, sakit apa? Nggak ke UKS dulu?" tanya Bu Linda.

"Kayaknya sih alergi, Bu. Soalnya mukanya bengkak dan merah merah gitu," jawab Bimo.

Dan bener aja, Zaki keliatan jelas kayak orang alergi. Bunda pernah kayak gitu juga pas alergi obat. Mukanya bengkak dan merah.

"Kamu abis makan apa?" tanya Bu Linda panik.

"Ikan, Bu. Tadi Zaki makan ikan tongkol," jawab Juno.

"Yaudah, cepet bawa ke Satelit. Satu orang aja," kata Bu Linda.

"Duh, tapi saya nggak bawa motor dan nggak bisa nyetir mobil, Bu. Saya ajak Juno ya, Bu?" Bimo bernegosiasi. Menurut gue itu bisa bisaan Bimo aja biar bebas cabut. Jelas jelas dia kadang bawa mobil.

"Yaudah deh. Nanti kalo udah selesai kalian berdua balik lagi ya? Jangan keluyuran."

"Ah, Ibu. Kita mana pernah sih mencari kesempatan dalam kesempitan," Juno berdusta. "Saya anterin Zaki dulu ya, Bu."

Mereka langsung cabut sambil mapah Zaki. Gue noleh ke James yang tampak dikhianati. Kali ini dia yang dibuang.

Setelah jam matematika berakhir, gue dan yang lain berencana untuk jenguk Zaki di Satelit. Istirahat kedua sampe jam dua, jadi pasti cukup untuk jenguk Zaki.

"Nav, lo bareng James aja. Dia juga mau ke Satelit kan?" kata Lisa.

Gue ngelirik males ke James yang berdiri dibelakang gue. "Yaudah deh."

Akhirnya gue naik ke mobil James bareng Sena dan Adit. Tadinya mau sama Sera juga, tapi Sera lebih milih bareng Alam.

"Eh, deket rumah gue ada Satelit juga," ucap Adit pas kami baru masuk mobil.

"Klinik juga?" tanya gue.

"Bukan. Satelit tuh sate lilit," jawab Adit.

"Enak nggak?" tanya gue. Sejujurnya gue emang laper karena belum makan siang.

"Enak. Mana murah lagi."

"Makanannya apa aja?" tanya James.

"Banyak. Mau kesana nggak?" tawar Adit.

"Hah? Kita kan mau jenguk Zaki," Sena ngingetin.

"Emang lo nggak laper, Sen?" tanya Adit setengah merayu.

"Eh? Ya laper sih."

"Yaudah deh, kita makan bentar di Satelit itu. Nanti abis itu ke Satelit klinik," putus James. "Setuju nggak?"

"Yaudah deh," gue dan Sena ikutan ngangguk, sedangkan Adit tampak senang.

Sepanjang jalan, gue ngerasa kayak lagi ditengah perang karna di kursi belakang Sena baku hantam sama Adit. Manusia dua itu memang nggak pernah akur.

"Bangke lo, Dit! Jadi lo yang bilang ke Vita gue deket  sama Nina?"

"Ah, enggak kok. Gue tuh cuma keceplosan aja, Sen. Nggak sengaja," Adit membela diri.

REALITEENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang