59. Jalan Jalan Berhadiah

153 15 6
                                    

"Buset, ini beneran kita kesini?"

Putra dengan outfit paling kecenya mengintip gapura selamat datang itu dengan nggak percaya dibalik kacamata hitamnya. Hmm, outfitnya yang bak jalan-jalan keliling Milan dengan tempat yang kami datangi ini memang nggak nyambung, gue jadi bersyukur karena nggak salah kostum. Putra memang terlalu semangat di hari pertama ini, yang merupakan kesalahan.

"Yaudah lah, ceu, anggap aja lo turis," hibur Jinny.

"Iya, ceu. Anggap aja lo lagi cosplay jadi Timothee Selamet jalan jalan," tambah Dinda.

Putra melotot. "Tapi ini Taman Kera. Ngapain Timothee main ke Taman Kera? Lagi kenapa jadi Selamet nama belakangnya?"

"Ya biar lokal, ceu, kan ini kita lagi di Indo," jawab Dinda.

"Anggap aja kita di Monkey Forest Ubud waktu masih ngekos di DC Cakung," Joyi masih berusaha menghibur.

"Elah, lagian itu kalo lo poto pasti orang orang bakal heboh loh kok bisa ketemu kembaran," sahut Adit, memancing peperangan.

"Ah, gue juga udah jauh jauh malah ketemu monyet. Padahal udah tiap hari ketemu monyet di sekolah," Ben ikut mengeluh. Wah, keluhannya disetujui sebagian dan bikin marah sebagian. Kurang ajar juga si Ben diliat liat, tau gitu gue dukung Gilang bekep dia.

Rendi muncul ditengah tengah mereka sambil memberi isyarat berhenti. "Stop, ini tiket masuknya ya."

Rendi bagiin tiket masuk. Bikin kami malah keliatan kayak murid lagi studytour. Ditambah anak anak yang pada baris, untung nggak pake baju seragam.

"Jangan misah ya," ucap Sultan.

"Etdah, beneran kayak lagi study tour, cok, kalo gitu," keluh Irsyad. "Lagi nggak mungkin ilang."

"Ya kalo ilang juga paling si Sena diangkat jadi raja," sahut Adit, masih bernyali besar. Sena yang bersumbu pendek itu tentunya melotot sambil menarik baju Adit.

"Maksud lo gue Sun Go Kong."

Setelah keributan nggak penting yang panjang durasinya kalo dijelasin itu, kami masuk ke Hutan Kera. Karena ini hutan yang isinya kera tentunya kami langsung disambut para kera yang tampak udah biasa sama kehadiran manusia. Kera kera itu kayak tau kalo kami bawa makanan.

"Nav, sini gue potoin," tawar James sambil mengarahkan gue untuk pose disamping ibu kera dan 2 anaknya. Gue nurut walaupun feeling gue nggak enak. James memotret dan senyum puas.

"Ini bisa dibikin film dokumentar keluarga. Ibu single parent, anak pertama, kedua, ketiga," kata James sambil menunjuk gue dan kedua anak kera itu. Kepala gue mendidih rasanya.

Adit muncul ditengah tengah kami sebelum gue sempat menganiaya James. "Bentar, ada lima ribu nggak?"

Gue mengernyit bingung. "Buat apa?"

"Kembalian uang parkir."

"Dit, buset," Irsyad yang ternyata nguping tiba-tiba nyaut. "Kita lagi healing, lo bisa nggak stop jadi tukang parkir dadakan disetiap kesempatan?"

"Kadung," jawab Adit enteng sambil mengambil uang lima ribu yang disodorkan James. Setelahnya Adit ke tempat parkir.

Anak anak IPA 4 udah pada sibuk dengan dunia kera masing-masing walaupun diawal ada aja yang ngeluh. Mungkin mereka merasa tenang pulang ke habitatnya. Bahkan Putra yang lima belas menit lalu protes sama tempat ini, sekarang lagi selfie asik sama kera kera yang ramah itu dengan imbalan pisang.

"Navy, ayo kita kesana," ajak Helen.

"Bentar, Len, gue balikin kameranya Bimo dulu."

Saat gue berbalik untuk nyamperin Bimo, tanpa sengaja gue nabrak perempuan yang pake kacamata hitam. Eh, ini sih kayaknya artis ya kalo diliat liat, tapi siapa...

REALITEENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang