25. Pilih Mana?

429 60 7
                                    

Gue balik ke kantin setelah dari toilet. Jalan dari toilet ke kantin beneran penuh perjuangan karena pas gue lewat lapangan ternyata kelas Revo lagi jam kosong juga kayak kelas gue. Gue jadi mendadak kayak agen spy yang lagi dalam misi sembunyi-sembunyi.

Sera masih duduk sambil main hp karna kekenyangan abis makan di meja yang tadi kami tempati. Gue berdua sama Sera cabut ke kantin, Deva dan yang lain lagi sibuk nobar di kelas.

"Mau balik ke kelas nanti apa sekarang?" tanya Sera pas gue baru duduk di depannya.

"Nanti aja deh, males banget gue."

"Makanya nggak usahan musuhan," cibir Sera. "James juga tumben amat betah dieman sama lo."

Gue langsung merengut. Yang dibilang Sera emang bener. Udah seminggu gue musuhan sama James. Dia tampak biasa aja, malah gue yang jengkel sendiri.

Biasanya kalo gue marah, James nggak bakal peduli alias dia bakalan tetep gangguin gue dengan nggak tau diri sampe akhirnya gue ngomong lagi sama dia. Tapi ini enggak.

"Oh iya, tadi Kak Revo nyariin," ucap Sera, nyaris sepuluh menit setelah gue balik dari kantin.

"Hah? Terus gimana?" tanya gue, langsung panik. "Kok nggak bilang dari tadi sih?"

"Gue bilang aja lo kecepirit. Lo kan bilang nggak mau ketemu dia," jawab Sera santai.

"Ya jangan kecepirit juga dong anjir," gue melotot kesal. Emang bangke banget ini orang.

"Lo juga parah banget ngehindarin dia sampe sebegitunya. Tinggal bilang aja kenapa lo ngejauh. Sebelum dia nyamperin lo ke kelas dan kita semua jadi korban perang."

"Korban perang apa sih, anjir?" tanya gue sebal.

"Menurut lo?" Sera melotot. "Sekarang gini deh, lo milih baikan sama James atau tetep deket sama Kak Revo?"

"Kenapa gue mesti milih kayak gitu coba? James temen gue dan Revo bisa jadi gebetan gue."

"Cepetan pilih aja," ucap Sera nggak sabar.

"Gue pilih..." mendadak gue dilanda kebingungan.

"Apa?" Sera tambah geregetan.

"Cara bilang ke Revo alesan gue ngajauh gimana?"

"Masa kayak gitu aja harus gua ajarin sih? Lo harus bisa ngeles sendiri dong," kata Sera, gue yakin dia juga nggak tau.

"Nanti deh, kalo ketemu dia lagi," ucap gue, malas ngelanjutin percakapan nggak penting ini.

"Sekarang dong?"

"Hah?"

Sera nunjuk kearah belakang gue dengan mulutnya. Gue noleh. Anjir, Revo ngapain kesini lagi?

"Hei," sapa Revo sambil senyum ke gue dan Sera, "Kata Sera lo sakit perut ya? Ini gue bawain obat dari UKS," Revo nyerahin ke gue dua tablet obat. Gue melotot sebentar ke Sera sebelum ngambil obat dari tangan Revo.

"Oh, hai. Makasih ya."

Revo mengusap rambutnya dengan ganteng, maksudnya dengan canggung.

"Nav?" panggilnya lagi. "Gue mau ngomong sama lo bisa?"

Seketika gue pengen kabur. Jantung gue mendadak kayak berontak. Gue noleh ke Sera, mencoba minta bantuan, tapi kembali mendapati pengkhianatan untuk kesekian kalinya. Sera mendadak tertarik sama mangkok yang udah kosong didepannya.

"Bisa?" tanya Revo lagi karna gue masih belum jawab.

"Bisa, Kak. Mau ngomong dimana?"

"Di tangga kembar aja gimana?"

Gue ngangguk dan kami jalan ke tangga kembar.

"Minum dulu aja obatnya," ucap Kak Revo.

Sialan Sera, image gue jadi tercoreng karena kecepirit. Gue cuma meringis karena bingung antara mau minum obat tapi gue nggak sakit perut, dan kalo gue nggak minum obat nanti gue malah kayak nggak ngehargain kebaikannya.

"Nanti deh, Kak. Kan nggak ada air minumnya," gue berhasil ngeles yang masuk akal. Dia ketawa malu.

"Oh iya, gue lupa bawain minum."

"Hehe, nggak papa kok," jawab gue, lalu suasana langsung hening.

"Lo beneran nggak papa kan? Maksudnya nggak ada masalah besar kan?" tanya Revo. Gue tau pertanyaan ini merujuk ke hari Minggu dimana gue tiba-tiba ninggalin kafe.

"Nggak papa kok. Sekali lagi gue minta maaf ya atas kejadian di kafe. Gue beneran ada hal mendesak jadi nggak sempet nunggu lo dulu."

"It's okay, Nav, gue cuma khawatir aja," jawabnya.

"Hehe, makasih ya udah khawatir," kata gue dengan canggung. Suasana kembali hening sebentar sampai akhirnya dia buka suara.

"Gue ada salah ya sama lo?"

"Hah? Enggak kok," jawab gue kaget. Kata James kalo gue diem muka gue kayak ngajak ribut, gue khawatir dia tersinggung karena ekspresi diam gue. "Emang kenapa?"

"Gue ngerasa lo ngehindarin gue akhir-akhir ini," jawabnya.

Gue menatap sekeliling untuk nyari alasan. Sejujurnya gue lebih berharap ada opsi call a friend atau semacam bisa telepati sama Ghea, tapi sayangnya nggak bisa.

Sialnya lagi, Putra keluar dari toilet cowok dibawah tangga dan ngeliat gue seolah gue lagi ketangkep basah jalan sama suami orang. Matanya yang ada dalam mode hengpon jadul itu serasa lagi merekam gue dan Revo.

"Nav?" panggil Revo karena gue kelamaan mikir.

"Oh, iya?" seketika gue kembali sadar. "Nggak papa, Kak."

"Kalo nggak papa kok ngehindar?"

Anjir, ini orang banyak tanya banget sih. Gue kan bingung mau jawab apa.

"Gue... kayaknya nggak bisa chattingan sama lo lagi."

"Kenapa?"

Ini gue jadi ngerasa kayak ujian lisan. Atau kayak Tasya pas di interogasi sama pacarnya tentang Juno.

"Gue punya cowok," dusta gue. Dipikiran gue sekarang ada Jaehyun dan Winwin NCT sebagai cowok gue. Nggak papa halu dulu, kekabul atau enggaknya mah urusan belakangan.

"Tiba-tiba aja?"

Gue ngangguk. "Maaf ya."

"Fine," jawab Revo, diluar dugaan. Gue kira dia bakal drama, tapi enggak. "Selamat ya."

"Makasih," gue senyum dan nyambut uluran tangannya. "Kita tetep temenan kan?"

Dia ngangguk. "Kita tetep temenan."

"Kalo gitu... gue balik ke kantin dulu ya? Sera nungguin," pamit gue.

Revo ngangguk sembari senyum. "Oke."

Gue berbalik dan mencoba berjalan senatural mungkin.

"Nav!"

Gue noleh.

"Kalo putus kabarin gue ya?"

Yakali. Punya pacar aja enggak.

Tapi gue senyum. "Pasti."

🍃🍃🍃

REALITEENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang