👑16

1.8K 163 7
                                    

"Drau, kasih Gue space buat nenangin diri." itu ucap gue kemarin malam lewat via telepon dan dia mau ngertiin.

Hari ini Bang Syam mau balik lagi ke tempat kerjanya di Batam. Dia ada pertemuan ama kolega di sini dan ada sisa hari buat ngunjungin rumah. Bang Syam gak absen buat nemuin gue walau cuman sebentar. Gue pingin nganter Bang Syam ke bandara, tapi gak bisa karena gue harus nemuin klien. Alhasil, kami ketemuan bentar di cafetaria kantor buat makan siang. 

"Makan yang banyak, Bang. Biar gak kelaperan pas perjalanan entar." gue nyodorin buku menu ke Bang Syam.

"Kek mau ke tempat yang terpencil aja." Bang Syam ketawa denger omongan gue. Dia milih satu menu minuman dan menu bakso.

"Kok itu doang, Bang?" gue ngambil alih menunya dan milih-milih.

"Itu aja dah bikin kenyang kok, entar kekenyangan malah mabuk." lontar Bang Syam emang bener.

"Iya juga, sih." gue mutusin buat mesen mi ayam dan es hari baik rasa vanilla latte. Bang Syam berdiri buat naruh kertas berisi pesanan ke meja order. Lalu balik ke tempat semula.

"Drau gimana, mau ngertiin?" tanyanya sambil ngelinting ujung kemejanya hingga ke siku.

Gue ngangguk. "Alhamdulillah. Trus rencanamu abis gitu apa?" lanjut Bang Syam.

Gue geleng kepala, "Entah, Bang. Belum ada gambaran. Masih pingin nyembuhin hati dulu." jawab gue.

"Ya udah, lakuin aja sesuai nalurimu. Entar pas Abang ada waktu dan pulang, kita ke luar kota lihat-lihat bangunan. Gimana?" tawarnya dan gue langsung ngangguk penuh antusias.

"Aku mau, Aku mau!" ujar gue semangat. Bang Syam senyum ceria sambil ngusep kepala gue.

"Jan sedih lagi, Adikku." ujarnya ngebuat hati ini damai, tentram, dan santosa.

Kami melanjutkan obrolan sampai makanan datang. Sambil makan pun kita lanjutin lagi, hingga tiba akhirnya Bang Syam harus pamit balik ke Batam.

"Perbanyak zikir biar hatinya cepat sembuh, jaga kesehatan, dan jangan sedih lagi. Bang Syam pergi dulu, assalamualaikum!" kalimat perpisahannya itu entah kenapa terasa menyentuh sekali.

"Wa'alaikumsalam warohmatullahi wabarokatu, Bang Syam." gue melambaikan tangan melepas Bang Syam pergi. Air mata gue udah menggenang aja minta keluar. Gue berdiri lama ngeliatin Bang Syam hilang di kejauhan dibawa taksi online. Hati-hati di jalan, Babang Syam.

Gue pun balik ke kantor ngambil barang-barang sebelum nemuin klien.

_💍_

Gue cuman bisa berdiri dari ke jauhan dengan segala macam perasaan penasaran sama apa yang gue lihat. Siapa cowok itu? Apa hubungannya sama Sea? Batin gue terus mempertanyakan hal tersebut dari dua menit yang lalu.

"Pak Bos, Klien udah nunggu." Jono menyadarkan lamunan gue. Bukan lamunan, tapi lebih tepatnya pengamatan.

"Iye." gue ngalihin fokus dan melanjutkan langkah kaki.

Pertemuan dengan klien berlangsung kurang lebih 30 menit. Selama waktu tersebut pikiran gue terpecah belah kemana-mana. Pikiran gue terdominasi oleh rasa penasaran tentang Sea dan cowok itu. Ada apa dengan gue? Batin gue bingung sendiri. Gue gak paham kenapa mesti mikirin hal tadi, kenapa coba? Oh Tuhan, perasaan apa ini?

Gue gak bisa kek gini terus, bisa berantakan entar kerjaan gue. Apa lagi banyak proyek besar yang harus gue perhatikan dengan sangat. Gue bangkit dari kursi, cari kesibukan entah apa pun itu. Ngunjungin tiap devisi misalnya.

"Pak Bos...." sapa Gita begitu gue lewat di meja kubikelnya. Gue berhenti sebentar, ngeliat kinerjanya.

"Kenapa malah diem?" tanya gue dan Gita langsung ngelanjutin kegiatannya.

"Abis dilihatin, sih." gumamnya saat gue beralih ke tempat lain. Dasar Gita!

Kaki gue berhenti tepat di kubikel kosong yang antah berantah dimana penghuninya. Gue segera memanggil manajer devisi ini. Begitu si manajer menghadap ke gue, tatapan horor yang gue kasih.

"Kemana Mereka?" aura dingin gue mulai keluar.

"Sepertinya masih di bawah, Pak Bos." terang si manajer.

"Masih di bawah?" nada gue terdengar mulai garang.

Si manajer mau aja buka bibir dan ngomong, pelaku yang gue buron datang tergesa-gesa. Atensi gue segera mengarah ke mereka.

"Tidak lihat ini jam berapa?" kegalakan gue muncul kembali ke permukaan. Entah kenapa emosi gue sewaktu sekolah dulu tumbuh kembali.

"Maaf, Pak Bos...." mereka menunduk menyesal. Gue lihat ada makanan yang dibungkus yang mereka sembunyikan di belakang.

"Mereka tadi baru saja menyelesaikan laporan yang Pak Bos minta, sehingga jam istirahatnya molor." terang si manajer mewakili mereka berdua.

Gue mendesah kasar, lalu berucap "Jangan nunduk!" dengan tegas. Mereka menaikkan wajah, menghadap muka gue dengan takut-takut cemas.

"Saya tidak tahu apa yang Kalian lakukan hingga pekerjaan kalian molor. Tapi Saya tidak suka hal itu dijadikan alibi. Waktunya kerja, ya kerja! Istirahat, ya istirahat! Mengerti?" tegas gue.

"Mengerti, Pak Bos." saut mereka kompak.

"Pergi ke pantry dan habiskan makanan Kalian! 15 menit Saya rasa cukup, sana!" mereka bergegas melakukan perintah gue.

"Ingatkan Mereka untuk disiplin waktu!" pesan gue ke manajer sebelum gue melangkah ke devisi lain.

Huft.... Pingin marah aja bawaannya. Gue merasa ini bukan diri gue yang kek biasanya. Ada jiwa lain yang mengisi raga gue. Ya Tuhan, ada apa sebenarnya dengan diri ini?

....
Hari udah gelap begitu gue selesai ngecek berkas terakhir. Gue lepas kaca mata, ngucek pangkal mata pelan, trus mengeliat ngelemesin tulang-tulang. Gue tengok jam, jam 9 ternyata. Kerjaan udah kelar, gue bangkit dari tahta buat pemanasan bentar. Suasana hening kantor yang ditinggal para  penghuni terasa tentram banget. Gue nikmatin bener peregangan otot-otot di badan gue.

Usai peregangan, gue ambil tas kerja dan cabut dari ruangan. Lorong-lorong udah banyak yang gelap aja. Tiba-tiba kaki gue berhenti, gue lihat ada ruangan yang menyala. Kaki gue melangkah mendekat, mengintip ada apakah gerangan. Diam-diam gue mengendap-endap, eh, kok malah jadi kek maling, ya? Ralat. Gue samperin aja ruangan itu dengan berani tanpa mikir hal-hal mistis atau apapun. Gue gak percaya kek gituan soalnya.

Langkah gue semakin deket, sayup-sayup gue denger ada suara krasak-krusuk dari dalam. Rasa penasaran gue semakin tinggi, gue semakin nyepetin kaki gue. Satu ... dua ... dihitungan ke tiga gue ampir teriak karna kaget.

Tiba-tiba aja di pojokan ada sapu melayang kemudian jatuh tanpa ada yang megang. Gue setengah mati kagetnya dan cuma bisa mematung tercengang. Seumur hidup, baru kali pertama ini gue lihat dan gue kaget bukan main. Cerita-cerita para karyawan seketika mendesaki pikiran gue.

"Aaaa...." gue kelepasan dan teriak cukup kenceng kala ada yang nepuk pundak gue dengan keras, tapi kerasa dingin banget pukulannya. Mau gak mau, gue lari terhuyun-huyun sambil nutup mata. Gak lupa gue juga baca doa.

'Alloohu laa ilaaha illaa huwal hayyul qoyyuum, laa ta’khudzuhuu sinatuw walaa naum. Lahuu maa fissamaawaati wa maa fil ardli man dzal ladzii yasyfa’u ‘indahuu illaa biidznih, ya’lamu maa baina aidiihim wamaa kholfahum wa laa yuhiithuuna bisyai’im min ‘ilmihii illaa bimaa syaa’ wasi’a kursiyyuhus samaawaati wal ardlo walaa ya’uuduhuu hifdhuhumaa wahuwal ‘aliyyul ‘adhiim.'

Cuman ayat kursi yang gue apal disaat kek gini.



Berlanjut___

NIKAHPANKAPAN [TAMAT] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang