👑33

1.5K 158 2
                                    

Gue akhirnya balik kerja setelah dua hari beristirahat di rumah. Kemarin, Nina ngabarin kalo Mbak Vini melahirkan dan cuti. Katanya, bayinya lahir dengan selamat dan si tengik katanya kemarin yang nolongin. Wow, si tengik punya perikemanusiaan juga rupanya. Amazing!

"Nih, buat makan siang. Gak usah beli-beli makanan di luar dulu." emak nyerahin kotak bekal saat gue hendak berangkat.

"Iye, Mak. Sea berangkat, assalamualaikum...." salam gue setelah saliman.

"Wa'alaikumsalam warohmatullahi wabarokatu...." emak nganter gue sampek depan pintu.

....
Nina langsung menyambut gue di depan ruangan saat gue keluar dari lift. Di tangannya dia bawa secangkir kopi. Kami berpelukan singkat lalu masuk ke ruangan.

"Terus yang ngegantiin Mbak Vini siapa?" tanya gue yang kemarin kelupaan buat nanyain hal tersebut.

Nina naruh cangkirnya ke meja setelah diseruput. "Coba tebak?" tanyanya balik.

"Mbak Rita?" terka gue dikasih gelengan. "Mas Bambang?" dia geleng lagi. Tebakan gue salah terus sampai empat kali nyebutin.

"Pak Bos." ungkapnya langsung ngebuat gue terkejot.

"Pak Bos? Pak Aksa?" ulang gue saking gak percayanya dengan apa yang gue denger.

"Emang siapa lagi Pak Bos di sini, hem?" Nina kembali menyeruput kopinya.

Gue terbengong-bengong. Gimana cara gue menghindarinya kali ini?

"Selamat pagi semuanya...." tepat abis gue membatin, muncullah suara itu disertai pemiliknya. Si tengik dengan senyum lebar yang mampu menghipnotis para wanita, berjalan ke kubikel yang biasa dipakai Mbak Vini. Meja kerja yang gak berjarak jauh dari tempat gue, terlihat horor di mata gue. Bukan hanya gak bisa menghindar, tapi juga gak bisa berpaling sebentar saja.

"Pagi, Pak Bos...." balas rekan sejawat gue serempak.

"Mau Saya buatin kopi, Pak Bos?" Ridho, satu-satunya kaum adam yang ada di devisi ini menawari si tengik.

"Makasih, Saya sudah ngopi." elak si tengik sopan. "Sepulang kerja Saya akan menyambangi ketua tim kalian, siapa yang bersedia ikut?" si tengik menyebarkan pandangan, yang disebari pandangan malah buang pandang. Pura-pura sibuk dengan kegiatannya sendiri.

"Saya harus ngecek furnitur yang dipesan klien, Pak Bos. Mungkin yang lain bisa." alibi si Ridho ngeles.

"Saya ada undangan jamuan makan malam, Pak Bos."

"Nenek Saya sakit, Saya harus segera pulang."

Satu persatu alasan dadakan mereka suarakan. Cuman gue dan Nina yang masih bungkam dan saling pandang-pandangan.

"Sudah, hentikan! Saya mengajak Kalian, bukan menyuruh Kalian untuk membuat alasan." ujar si tengik menghentikan berbagai suara dari rekan sejawat gue yang makin mengada-ada alasannya.

"Saya dan Sea bersedia, Pak Bos." tanpa rundingan dengan gue, Nina nyeplos dengan keras. Seketika mata gue melotot ke dia dan dianya malah nyengir keledai.

"Bagus, lekas kerja kita berangkat bersama-sama." si tengik memetikkan jari jempol dan telunjuknya. Dia ngarahin senyum misterius khusus ke gue. Dasar, tengik!

_💍_

Pandangan gue gak bisa lepas dari sosok Sea yang lagi fokus dengan komputernya. Gue puas-puasin mandangin dia buat nyembuhin rasa rindu yang tak terkira ini. Dua hari dia gak nongol, serasa dua abad rasanya. Itulah efek dimabuk cinta. Huah.... Udah lama gue enggak merindukan seseorang.

"Pak Bos!" gue tersengat oleh suara Ridho yang menghampiri meja gue.

"Apa, Rid?"

Ridho nyerahin satu berkas dan gue terima. Dia lalu kembali ke asalnya.

....
"Maaf, Pak Bos. Saya terpaksa harus pulang sekarang, adik Saya masuk rumah sakit." ini kata Nina beberapa saat lalu menjelang jam pulang kerja. Gue bisa lihat wajah kepanikannya saat ngomong itu, jadinya gue izinin dia buat pulang lebih dulu.

Sekarang, di dalam mobil yang sedang melaju lambat karena terjebak kemacetan ini, gue terperangkap kebekuan yang luar biasa. Gue kehilangan kosakata buat ngajak Sea bicara.

"Keadaan Lo udah membaik?" basa-basi gue.

"Lu bisa lihat sendiri." sautnya cuek dan irit.

Duh! Mesti dengan cara apa lagi agar kami bisa bicara dua arah? Aduhai....

Apa gue curhat aja, ya, pengalaman gue kemarin? Tapi, kalo dianya tutup telinga gimana? Kalo basa-basi terus pasti dianya bosen dan malah bisa-bisa gue disuruh diem.

"Se!" panggil gue mencoba memulai membuka dialog kembali.

"Hem?" balasnya tanpa natap gue. Duh, gerogi mulai menyelubungi perasaan gue.

"Gue mau cerita sesuatu, Lu mau dengerin, gak?" suara jantung gue menyaring, siap-siap mendengar jawaban Sea.

"Apa?"

Dalam hati gue berteriak "Yes!" penuh kegirangan. Setidaknya kata 'apa' yang Sea ucapin menjadi pengantar untuk dialog dua arah dimulai.

"Kemarin, Gue nolongin Mbak Vini dan membawa dia ke rumah sakit." lantun pertama gue.

"Lu mau pamer?" hardiknya seketika.

"Bukan ke sana maksud Gue." sanggah gue. "Gue dikira suaminya gegara hal itu." lanjut gue mengundang kekehan kecil dari Sea.

"Serius, Lo?" Sea makin ke sini makin keliatan tertarik dengan bahasan gue.

"Iye. Dan parahnya...." gue merasa agak ragu buat nyeritain pengalaman gue ngazanin bayi orang.

"Parahnya apa?" Sea semakin tertarik untuk lebih jauh mendengar cerita gue. Tapi, lain hal sama gue sendiri.

"Gak jadi. Entar Lo ketawain lagi." gue urungkan buat cerita.

"Ketawain apaan sih, Lu aja belum cerita." lontarnya entah kenapa ngebuat gue jadi plin-plan.

"Wajah Lu gak bisa dipercaya." ejek gue dan dia nanggapi dengan ketawa ringan. Manis juga kalo ketawa, batin gue.

_💍_

Kami akhirnya tiba di rumah sakit tempat Mbak Vini melahirkan. Si tengik nurunin gue di depan pintu utama dan dia markir mobilnya. Saat ini gue lagi duduk di bangku tunggu nungguin dia. Gak berselang jauh, si tengik muncul di pintu utama. Guepun berdiri buat nyamperin dia dan segera ke ruangan inap Mbak Vini.

Gue dan si tengik masuk ke lift bersamaan dengan orang-orang. Begitu pintunya mau nutup, seorang cewek nerobos masuk. Suara pertanda lift kelebihan muatan berbunyi tepat saat cewek itu masuk.

"Woi, sadar diri dong!" lantang salah satu penumpang lift.

Si cewek yang nerobos tadi masih bergeming dan malah berlagak tuli.

"Udahlah, yang ngerasa badannya keberatan, silahkan keluar!" suara salah satu orang-orang di sini.

Gue melihat sekeliling, dari sejumlah pengguna lift, cuman gue yang masuk kategori yang diucapkan orang itu. Mereka semua ngeliatin gue dengan tatapan yang seakan bilang 'Sadar diri dong! Badan Lu gede'.

Ditatapi seperti itu dan pada dasarnya gue itu kagak suka mencari keributan, akhirnya gue legowo ingin ngalah aja meski gak salah. Tetapi, lengan gue langsung ditahan si tengik dan dia ngedorong cewek penerobos tadi keluar.

"Lift ini bukan milik nenek moyang Lu!" lontarnya begitu mengeluarkan cewek tersebut. Si tengik segera menutup pintu lift.

Gue melongo dengan tindakan tengik. Dia ngebelain gue?













"Jangan pernah rela ngalah dari orang kek gitu." lirihnya ngebuat hati gue AMBYARRRR....







BERLANJUT~~~

NIKAHPANKAPAN [TAMAT] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang