Hal mengejutkan selain si tengik pindah ke perusahaan papanya, tim devisi desain interior sekarang diketuai sementara oleh Mbak Ita. Dan posisi pemimpin perusahaan saat ini dipegang oleh sekertarisnya si tengik, Jono. Sekarang, si tengik seperti hilang ditelan bumi. Dia gak ada ngasih kabar apa-apa. Ironisnya, dia bahkan gak pamit ke gue dan cuman pamitan secara umum untuk semua karyawannya. Gue gak kepo tentang alasan dia pindah, tapi gue sedih ditinggalin tanpa pamit.
Hadehhh ... gue PD banget minta dipamitin. Siapa gue?
Gue menghela napas pelan, memandang kursi yang pernah diduduki sementara oleh si tengik. Kursi itu nampak kosong meski sekarang diisi oleh Mbak Ita. Bukan pasal kursinya, tapi kehadiran si tengik yang ngebuat tahta itu terasa kosong.
Kenapa gue jadi memelodrama gini? Gue kangen si tengik?
Jawaban atas pertanyaan gue terjawab jelas kala bayangan tengik muncul di depan gawang pintu kaca yang otomatis terbuka. Mata gue yang berkabut akibat air mata, melihat bayangan itu mendekat. Semoga aja bayangannya si tengik, bukan hantu yang lagi iseng ke gue.
Sosok bayangan tengik semakin mendekat, semakin membuat hati gue yang tandus sedikit demi sedikit tersirami. Kabut di mata gue kini turun menjadi rinai air mata. Sosok bayangan itu persis banget ama peringai, perawakan, dan gestur si tengik.
Apa iya, ini efek kangen? Sampai-sampai gue bisa mendengar suara alas sepatunya yang beradu dengan lantai. Apa sebegitu rindunya gue, sampai-sampai gue bisa mencium aroma parfum maskulin yang biasa gue hirup saat berada di dekat si tengik. Apa iye, gue kangen berat? Sampai-sampai bayangan si tengik bisa mengeluarkan suara dan berbicara.
"Belum pulang?" suara itu diulang kedua kalinya. Gue menatap sayu rayu sosok bayangan tengik yang samar-samar oleh pencahayaan ruangan yang redup. Jam kantor udah berakhir dua jam yang lalu, dan perusahaan membuat kebijakan pemadaman listrik setengah jam setelah jam kantor selesai.
"Lah, kok nangis?"
Tangisan gue pecah kala sosok itu bisa ngomong kalimat yang lain. Benar, gue benar-benar merindukan si tengik. Huwaaaaa....
"Sea, Lu kenapa?" sosok itu panik dan berpindah ke samping gue.
Tangis gue makin kejer kala gue bisa nyentuh lengan si tengik dengan telunjuk gue. Kenapa bayangan tengik makin terlihat nyata?
"Hei, kenapa nangis? Gue berbuat salah, iya? Gue minta maaf kalo gitu." bayangan tengik berlutut di samping gue sambil tangannya megang sandaran tempat duduk gue.
Tangisan gue mulai tenang beberapa menit pasca gue sadar kalo itu bukan bayangan tengik, tapi emang sosok tengik yang asli. Dia mandangin gue dengan tatapan meneduhkan hingga isak tangis gue bisa mereda.
"Ini, dilap hidungnya." si tengik ngeluarin sapu tangan dari jasnya dan dikasih ke gue. Tanpa malu dan ragu, gue gunain sapu tangannya buat ngeluarin ingus yang menyumbat hidung gue. Bodo amat dia jijik, gue gak urusan.
"Udah mendingan?" tanyanya dengan suara khas prianya, namun terdengar lemah lembut. Gue kasih anggukan, enggan banget sekedar mengiyakan dengan kata.
"Lu kenapa nangis? Ada masalah apa, hem? Atau Gue punya salah?" tanyanya lagi. "Kalo Gue salah, Gue minta maaf." terusnya.
Gue masih bergeming dengan suara ingus yang disedot. Dia masih setia berlutut di samping gue dengan posisi seperti tadi.
"Ya udah, gak usah dijawab. Sekarang udah magrib, ayo, solat. Setelah itu Kita cari makan dan Gue anter Lo pulang." ajaknya dan gue turutin begitu aja.
_💍_
Misteri tangisan Sea saat gue kunjungi tadi, masih menyimpan teka-teki. Namun, gue gak ingin melarutnya. Gue hanya ingin mendapat jawaban dari perasaan gue selama ini.
"Se, Gue pingin denger jawaban Lo kali ini." sampai gue setelah makan. Saat ini, Kami sedang duduk di mobil ngelegain perut yang kekenyangan.
"Gue gak bisa." singkatnya langsung ngebuat hati ini tertusuk duri.
"Kenapa?" kepo gue.
"Gue gak merasa pantas bersandingan dengan Lo." jelasnya basi banget.
"Kepantasan seperti apa yang Lu maksud?" gue cecar terus pokoknya, sampai gue bisa dapetin jawaban yang gue mau.
"Semua. Mulai dari latar belakang Lo, sampai penampilan Lo." terangnya secara global.
"Kenapa dengan latar belakang Gue? Apa salahnya?" amunisi kata 'kenapa' akan gue serbukan terus sampai darah penghabisan.
"Keluarga Lo adalah keluarga terpandang dan berada. Apa kata orang, kalo putranya bersandingan dengan anak pensiunan guru? Keluarga Gue pasti akan dipandang mata duitan, dan Gue gak mau itu terjadi." terangnya secara lebih terperinci.
"Sekarang Gue tanya, penting kata orang atau kata Tuhan?" tanya gue balik.
Sea menunduk dalam, bibirnya terkunci gak bisa jawab.
"Gue teringat kata-kata Babeh waktu sekolah dulu. Babeh pernah bilang, 'kaya atau miskin, saat sujud, semua kepala merunduk serendah-rendahnya ke bawah'. Lo pasti paham dengan maknanya." tegas gue.
"Sekarang, alasan apa yang ingin Lo gunain untuk nolak Gue, hem?" gue semakin berada di atas angin. Skor 1-0 sekarang. Gue unggul satu poin.
"Gue gendut." pernyataan singkatnya yang udah bisa gue tebak, ngebuat gue mendesah kasar. Sebuah alasan klasik, huft....
"Emangnya kenapa kalo Lu gendut?"
"Saat jalan bareng, Gue hanya akan merusak pemandangan Lo." jawabannya ngebuat gue pingin ngakak seketika. Sea pasti kebanyakan lihat drama yang mengisahkan nasib buruk cewek berbadan gendut. Atau mungkin, dia memakan banyak persepsi para pria yang bilang gak suka cewek gendut. Aduhai ... bikin gemes aja nih cewek.
"Jadi, seharusnya cewek yang berjalan sama Gue itu harus yang kutilang, kurus tinggi langsing?" gue balik pernyataannya.
"Itu yang pantas." singkatnya lagi.
Gue menghela napas panjang, "Lihat Gue sekarang!" titah gue semi maksa. "Lihat Gue, Sea!" ulang gue.
Sea perlahan mengangkat wajahnya, mengarahkan pelan-pelan pandangannya ke gue.
"Sekarang Gue tanya lagi, apakah orang gendut harus sama orang gendut? Kurus harus sama kurus? Atau ganteng harus sama cantik, gitu?" serang gue bertubi-tubi. "Apakah kalo cewek gendut dan cowok tinggi bersanding, lalu dikenai hukuman? Begitu maksud, Lo?" serang terus, pantang mundur.
Sea menggeleng pelan.
"Se, dengerin Gue. Gue gak memandang Lo dari fisik Lo. Mau Lo kurus atau gendut, Gue tetap jatuh cinta sama Lo. Gue terpikat sama perhatian, ketulusan, kecerdasan, dan ketaatan Lo dalam beragama." tutur gue terus terang.
"You're awesome in your way, Sea. And I'm so amazed because of that." imbuh gue mantap.
"Tuhan gak pernah memandang hamba-Nya melalui apa yang hamba-Nya punyai. Apakah pantas, manusia yang gak ada setitik dari kebesaran Tuhan, lantas memandang sesamanya dengan apa yang dipunyainya?"
Pandangan Sea kembali menunduk.
"Se, jangan merendah karena fisik dan latar belakang Lo. Terima Gue karena hati Gue, jangan yang lain. Oke?"
Berlanjut....
KAMU SEDANG MEMBACA
NIKAHPANKAPAN [TAMAT]
Romance[[KEN AKSARA MERA & SEAZALIKA JANARDANA]] "Kapan kawin?" Bisa nggak, kata itu dihilangin aja dari dunia ini?😤 "Kapan nikah?" Besok, kalo gak ujan. 😒 Selengkapnya, silahkan mampir. Dipublikasikan pertama kali tanggal 22 Mei 2020 dan tamat pada ta...