👑32

1.5K 156 8
                                    

Ujung jemari gue gemeteran di balik bungkus sepatu. Butuh nyali gede buat terus terang dan ngalahin gengsi untuk mengucapkan kata-kata yang gue sangkal selama ini. Gue jatuh cinta dengan Sea, itu faktanya. Terlelas dia nganggep gue apa, bodoh amat! Gue hanya ingin menyampaikan perasaan ini sebelum terlambat.

"Ma-maksudlo, apa?" wajah Sea keliatan menegang, seakan ngeliat gue ini sebagai dosen yang nguji skripsinya.

"Gue suka sama Lo, Sea. Ken Aksara ini jatuh hati padamu, Seazalika Janardana." gue semakin lantang bersuara.

Bibir Sea merongga, wajahnya pucat pasi dengan mata membelalak lebar.

Apa ucapan gue nyeremin? Batin gue bingung. Bukannya wajah bersemburat merah jambu yang gue dapatin, malah wajah terkaget-kaget yang gue perolehin. Ya ampun, Sea!

"Se, jangan diem aja. Setidaknya sepatah kata, tolong suarain. Please." pinta gue yang merasa pesimis akan jawaban Sea.

"Udah malem, Gue mau pulang." ujarnya tiba-tiba sambil mengambil haluan pergi.

"Se!" segera gue halangin dia dengan berdiri menghadang pintu.

"Tolong, bi-biarin Gue pergi. Gue...." ujarnya menggantung.

Gue tarik napas pelan-pelan dan nungguin kelanjutan ucapannya.

"Gue butuh waktu untuk mencerna semua ini." kata Sea dengan satu tarikan napas.

Jantung gue hampir berhenti kalo-kalo ternyata dia bakal nolak gue mentah-mentah. Gue tahu persis, selama ini gue hanyalah kakak kelas yang dia benci di matanya. Tapi siapa kira, jika perasaan benci itu nantinya menjelma jadi suka. Tiada yang mengira.

_💍_

Si tengik berhasil membuat jantung gue seakan rontok berguguran. Gue yang naif akan hal asmara tiba-tiba aja dinyatain perasaan sama orang yang gue benci. Wajah gue sampek pucet pasi, keringet dingin, dan mules-mules gimana gitu. Berada dinuansa seperti tadi, membuat gue kek bermimpi ketemu Bang Jong Suk trus meluk dia. Sensasi dag dig dugnya itu yang hampir mirip, tapi soal perasaan guenya ... itu yang gak bisa gue jelasin.

"Lu sakit, Se?" emak ngeliatin gue yang baru balik dari kamar mandi.

"Kagak, Sea sehat, Mak." gue berlenggang ke kamar sambil megangin perut.

"Yang bener?" emak ngikutin gue dan mastiin kondisi gue dengan meraba-raba wajah dan leher gue. "Badan Lu anget begini."

"Sea sehat, Mak." ulang gue. Emang gue sehat, kok. Hati gue yang ambyar gegara manusia paling tengik itu.

"Sehat apanya, dah sono istirahat! Gue buatin bubur bentar." emak menatih gue ke ranjang.

"Kagak usah, Mak. Emak entar capek." elak gue sambil berbaring dan dikemuli selimut ama emak.

"Diem, kagak usah berisik!" emak beranjak dari kamar gue.

....
Efek dari pernyataan si tengik kemarin berhasil membuat gue terbaring di ranjang. Hari ini emak melarang gue buat kerja dan mesti istirahat. Ya udah deh, alhamdulillah bisa ngehindarin si tengik.

"Se...." terdengar suara babeh dari luar sambil ngetuk pintu.

"Iya, Beh?" saut gue, tak lama babeh nongol.

"Dah sehatan?" babeh nyamperin gue ke ranjang dan duduk di tepian kasur.

"Alhamdulillah, Beh." bales gue dapet elusan di kepala gue.

Babeh ngangguk, "Kalo gitu Babeh mau mandiin burung." babeh bangkit dari kasur gue dan berjalan keluar.

Tak berselang lama, giliran emak yang masuk sambil bawa makanan.

"Waktunya sarapan, anaknya Emak yang paling cantik...." emak menaruh nampan ke nakas. "Nah, minum air putih dulu."

Gue nerima air putih itu dan menegaknya. Setelah baca basmalah, emak nyuapin bubur ayam ke mulut gue.

"Mudah-mudahan lekas sehat bugar, anaknya Emak...." doanya. Gue langsung mengamininya dengan segera dan dengan suara nyaring. Emak emang akan berubah kalo gue lagi sakit kek begini.

_💍_

Berulang-ulang kali gue nengokin HP yang terletak di depan gue. Gue tarik mendekat dan gue idupin layarnya, pesan gue belum juga dibalas. Nomornya juga dihubungin kagak aktif. Hati gue gundah gulana. Apa mungkin dia mencoba ngindarin gue lagi? Pikir gue. Gue lekas-lekas geleng kepala. Mungkin dia punya alasan lain.

"Pak Bos, mobilnya sampun siap." lapor Jono setelah gue suruh buat ngasih tahu Pak Karyo kalo gue mau pergi.

"Iye, Jon. Gue mau ke kantor Papa, Lu urus yang ada di sini." pesan gue sambil ngancingin jas.

"Siap, Pak Bos!" guepun jalan ninggalin ruangan. Jono nganter gue sampai ke depan lift dan membukakan pintunya buat gue. "Semangat, Pak Bos!" ujarnya sambil mengepal tangan.

"Iye, Lu juga!" berbarengan dengan ucapan gue, pintu lift tertutup.

Baru turun selantai, pintu lift terbuka. Nampak ketua tim desainer interior. Dia ngangguk hormat dan ikut masuk.

"Kapan bayinya akan lahir?" tanya gue sambil ngeliat ke perutnya yang buncit.

"Beberapa minggu lagi, Pak Bos." sampainya seraya mengelus-elus jabang bayi dalam perutnya.

Gue ngangguk dan balik menghadap ke depan. Berselang beberapa detik, tiba-tiba Vini, ketua tim desainer interior merintih kesakitan megangin perutnya.

"Mbak Vini kenapa?" gue panik ngeliat Vini mencengkram jas gue. Vini kagak jawab dan hanya merintih-rintih kesakitan.

"Air ketuban...." lirihnya di sela-sela rintihannya. Gue lihat ke bawah dan benar saja cairan mengalir ke lantai lift. Segera mungkin gue panggil tim medis buat nolong.

....
Gue panas dingin nungguin Vini di depan ruang persalinan. Suami dari Vini berada di luar daerah dan baru bisa balik besok. Sebagai atasan, gue merasa bertanggung jawab buat mengurus Vini sementara sebelum keluarganya datang.

"Keluarga pasien?" seorang suster akhirnya keluar dari ruang bersalin.

"Saya, Sus." aku gue sambil berdiri dari bangku tunggu.

"Silahkan ikut Saya." tutur suster sembari mengarahkan gue buat masuk ke ruang bersalin.

"Selamat, Pak. Bayi perempuan Anda lahir dengan selamat." dokter yang membantu proses persalinan nyalamin gue.

Hah? Bayi perempuan gue?

"Silahkan diazani, Pak." suster membawa jabang bayi yang masih bersemu merah itu ke hadapan gue.

Lah, apaan lagi nih? Gue harus ngazanin?

"Bentar, sus. Sa-saya...." gue mandang ke Vini, dia ngasih anggukan ke gue.

Maksudnya apaan, nih? Kenapa mesti gue?

"Silahkan, Pak."

Mendadak aja badan gue panas dingin, seumur-umur gue belum pernah terjebak pada keadaan seperti ini. Gue aja nikah belum, tapi ini dah ngazanin bayi. Mana bayinya pasangan lain lagi.

Gue tarik napas panjang, lalu mulai mengazani bayi perempuan mungil itu.

"Allaahu Akbar, Allaahu Akbar.... Allaahu Akbar, Allaahu Akbar...." lafal pertama gue terdengar gemeteran banget.

"Asyhadu allaa illaaha illallaah.... Asyhadu allaa illaaha illallaah." lafal gue jauh lebih tenang dari lafal sebelumnya. Sampai ke lafal terakhir, entah kenapa ada rasa berdesir di dada gue. Tepat di kalimat terakhir, "Laa ilaaha illallaah...." bayi perempuan dalam gendongan suster itu menangis kencang.

"Alhamdulillah ... semoga pertanda berkah." para suster dan dokter pada bersyukur. Sementara itu, Vini menangis haru ketika suster memindahkan bayinya ke pelukannya.

Selamat datang, bayi manis.... Sapa gue dalam hati.




Bersambung....

NIKAHPANKAPAN [TAMAT] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang