28. Peka Dong!

665 77 12
                                    

Fanny melipat kedua tangannya di atas meja. Mendengar penjelasan singkat dari bibir Jonathan membuatnya malah mengantuk.

"Di sini tugas gue bukan buat dongengin lo!" delik cowok itu mengetuk dahi Fanny dengan bolpoint miliknya. Membuat mata yang semulanya ingin menutup itu kembali terbuka lebar, dia terjengit.

"Abisnya suara lo kayak pengantar tidur sih," balasnya.

"Inilah alasan mengapa manusia bego tercipta."

Fanny menatap sengit Jonathan, "apa lo bilang?!" marahnya.

"Lo pemales pantes bego," cibirnya membuka lebaran bab baru.

"Gue pinter tau!"

"Iya, pinter banget sampe dapet rangking dua dari belakang. Benar, Fanny?" sindirnya.

Gadis berambut hitam itu memanyunkan bibirnya mendengar hal itu. Kenapa sih mesti diungkit lagi? Ia kan, jadi insicure. Sepertinya dalam geng mereka hanya ia human terbodoh. Buktinya saja, si Tinky mendapat rangking delapan, Jefri di posisi ke dua belas. Erik? Si konyol itu juara satu. Wajar sih, tidak usah diragukan lagi otaknya. Tidak bisa diprediksi.

Teman sablengnya itu diluar tampak seperti orang bodoh, konyol, idiot dalam kesehariannya akan tetapi jika dalam akademik otaknya tidak bisa diremehkan. Aneh bin mustahil. Tapi, itulah kenyataannya. Dia Erik Pearit J. Kadang suka dipanggil oleh mereka dengan sebutan "Pea" atau "Mr. Bean".

Terus si La Launa kebangaan semua guru? Dia diposisi ketiga sedangkan Jonathan juara kedua. Dua orang itu bisa terkalahkan oleh Erik si Burik.

Kurang lebih dua jam sesi pelajaran dimulai. Jonathan menggelengkan kepala melihat Fanny termanggut-manggut dengan kedua mata memejam. Hampir dagu Fanny akan terkantuk meja kalau saja Jonathan tak langsung menangkup wajahnya. Tangan Jonathan jadi miring ke kanan dan ke kiri saat kepala gadis itu bergerak oleng. Mencari keseimbangan dengan keadaan setengah sadar.

Pelahan Jonathan menyandarkan kepala Fanny ke sofa di belakangnya. Ia memutuskan untuk mengakhiri pelajaran hari ini. Membereskan semua buku di meja. Percuma, ilmu yang dibaginya terbuang sia-sia juga jika masih dilanjutkan. Karena si murid pemalas ini tak mengindahkannnya malah asik tertidur.

Jonathan akan meninggalkan ruangan belajar ini. Ia akan menemui kedua orangtua Fanny berpamitan untuk pulang dan menceritakan semuanya. Bahwa anak mereka kebanyakan tidur bukannya belajar.

***

"Fanny."

"Pani!"

"Eh, anaknya dakhyung! Main yok!!!"

Selang beberapa menit kegaduhan yang terjadi di depan rumah membuat Munawaroh keluar.

"Berisik kalian, hei! Fanny nggak dibolehin main dia harus belajar."

"Yaaa, Tante. Kok gitu?"

"Kamu itu ya Erik. Otak encer tapi kok ya nggak mau nularin ke Fanny."

"Itu mah udah dari lahir, Tan. Nggak bisa disalahin."

"Nggak keluar, Tan. Main di rumah Pani aja. Nanti sekalian belajar deh. Erik yang ngajarin." Tinky mengangguk tegas berusaha menyakinkan sang Bunda Muna.

"Nggak. Fanny udah ada mentor. Kalian pergi jauh sana. Lagian kalau seandainya Tante izinin paling belajarnya satu detik doang sisanya ya main."

"Kok tahu sih? Nggak asik nih si Tante," celetuk Erik. Sedangkan Jefri yang ikut serta juga lebih memilih diam sembari membalas pesan dari gebetan.

"Besok kita datang lagi ya Tan. Mau ngajakin Fanny ke jembatan Ampera."

"Ngapain?" tanya Erik. "Mending ke kuliner Nusantara bisa makan enak gratis lagi."

Amare (TAMAT) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang