32. Kejanggalan

550 80 6
                                    

Dua gadis remaja itu bersungut malas karena sang Bunda menyuruh mereka berbelanja kebutuhan kulkas di pasar. Bibir-bibir cantik mereka langsung berkomentar.

"Bau, Bun."

"Sumpek."

"Bikin capek."

"Panas."

"Gerah."

"Berat."

"Nggak bisa nawar."

"Belum mandi."

"Ribet."

"Malu diliatin cogan. Masa cantik-cantik kek emak-emak sih  belanja ikan asin ke pasar."

"Kenapa nggak Bi Inem aja?"

"Kenapa nggak Bunda aja?"

"Sekalian aja Ayah kalian suruh belanja ke pasar. Sudah, jangan membantah. Sana pergi ke pasar."

"Naik?"

"Angkot? Ogah! Udah panas, jalan kaki, sumpek, bau lagi. Ew! Banget, Nda." Fae merengek.

"Motor sana."

"Yeay!"

"Ih, kok lo seneng banget sih dek? Yaudah lo aja sana. Gue adem ayem di rumah."

"Enak aja! Ogah yak."

"Kalian berdua!" tekan Muna.

"Iyadeh Bunbun," pasrah Fanny.

"Maksud gue tuh mending naik motor daripada angkot gituloh. Emang Kakak mau ngangkat belanjaan berat terus jalan kaki?"

"Nggak sih."

"Nah, kan!"

"Iyadeh, Fae."

"Cus! Kita ke pasar."

Setibanya di Pasar. Mereka mengamati situasi yang ramai. Banyak orang berlalu-lalang. Jelaslah, ini hari minggu.

"Kak!" panggil Fae pada Fanny yang sibuk memandangi berbagai macam buah. "Apa?"

"Nda tuh apa-apaan yak. Belanja aja ribet banget pake teka-teki segala. Nggak paham guetuh bacanya," keluh Fae menunjuk catatan belanja ala Muna.

"Kembarannya sayur asem satu bungkus?" tanya Fanny membaca baris pertama.

"Apaantuh?"

"Sayur sop, ih! Gitu aja lo nggak tau."

"Ha?" Fae ternganga. "Buset dah," gumamnya.

Mereka berdua pun melesat ke tempat si penjual berbagai sayuran.

"Kak, anak ABG bonceng tiga pake baju sekseh warna merah setengah kilo?"

"Cabe merah, Fae." Fanny meringis.

"Ho'oh."

"Kak, si Fanny bibir pedas dua kilo?"

Fanny ingin menangis seketika mendengar pertanyaan Fae yang membacakan urutan kesekian belanjaan si Bunda.

"Anjay! Bunbun ngeselin. Cabe rawit, Fae."

Jangan heran ya mengapa Muna membeli banyak cabai karena di keluarga mereka semuanya penyuka rasa pedas. Apalagi Fanny dan Muna. Cabai rawit tuh, setiap hari wajib bertengger manis di meja makan sebagai lalapan.

"Ho'oh." seditik kemudian Fae tertawa. "Shit!" tawanya.

Ibu penjual hanya bisa mengangguk saja, sesekali tertawa saat mendengar pertanyaan dan jawaban dari pembelinya.

Amare (TAMAT) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang