15. Hari Kemerdekaan

820 75 7
                                    

"Kak!"

Panggilnya sok sopan padahal sudah main masuk ke dalam kamar Fanny. Mana membuka pintunya secara kasar lagi.

Toktokk. Baru ia mengetuk pintu itu dengan tak santai.

"Disuruh Nda cuci piring sama nyapu tuh," ucapnya memberitahu. Melihat kakaknya sedang main ponsel membuatnya mendecak. "Hp terooos!" teriaknya keluar dari kamar Fanny setelah menjatuhkan bingkai kayu yang berisi foto Fanny dengan sang mantan ke bawah.

"Fae!!!" teriaknya kesal. Adeknya ini benar-benar nakal sekali. Ia langsung beranjak memunguti foto kenangan terindah itu.

"APASEH?" sahutnya berteriak membuat Fanny geleng-geleng kapala. Ia tahu Fae sudah menjauh dari kamarnya tetapi balasannya memekakan telinga.

"Nggak boong kan lo? Awas ya kalo boong! Kakak tengalamkan lo di kolam samping!"

"NGGAKLAH. UGHTEA MANA BISA BOHONG."

Seketika Fanny menjulurkan lidahnya mendengar omongan Fae yang sok. "Iyadeh yang Bad Girl auto tobat karena Susu peninggi badan," teriaknya meledek.

Fanny terkikik puas karena tidak terdengar lagi balasan dari adiknya. Ia yakin pasti Fae mencebikan bibirnya.

Terpaksa dengan langkah gontai ia melaksanakan perintah dari Bunda. Kalau tidak. Bisa memerah telinganya kena omelan dan jeweran dari Bundanya itu. Apalagi saat ini masih pagi ia sudah rebahan saja di kasur. Minta dimarahin memang.

Kebiasaannya memang kalau weekend habis sholat shubuh ya tidur lagi. Nanti jam sembilan baru bangun lagi. Dan itu bukannya mandi atau membasuh muka tetapi mengecek ponsel.

"Banyak bener dah," komentarnya melihat piring kotor yang menumpuk belum lagi dengan alat-alat dapur lainnya. Teganya Bunda. Si Bu Inem kemana lagi?

Fanny disuruh Bundanya samaan juga seperti Fae memanggil pekerja tua itu dengan sebutan ibu. Fanny mah ngalur aja. Tidak masalah.

Tapi, bukannya kalau jam segini piring sudah bersih semua ya. Bu Inem kan sangat rajin. Belum lagi Bundanya yang memang juga rajin tidak bisa melihat rumah berantakan pasti akan membereskannya.

Ah, sudahlah. Memang ini perintah Bundanya. Mungkin untuk memberinya pekerjaan di pagi hari.

Selang beberapa menit. Fanny pun mulai menyapu teras rumah. Karena dilihatnya di dalam sudah bersih dan kinclong.

"Astaghfirullah Kakak!" jerit Bundanya heboh ketika turun dari mobil bersama Bu Inem di sampingnya. Ada belanjaan sayur di tangan kedua wanita tua yang beda umur itu. Dari pasar sepertinya.

Sontak saja sapu di tangannya terlepas---terbanting ala-ala sinetron. Kaget mendengar teriakan itu ia menoleh panik ke Bundanya.

"Kenapa Bun-bun? Ada apa? Ada gosip apa di komplek kita?" tanyanya.

Muna tersenyum geli, "nggak ada Kak. Biang gosip! Anaknya Bunda apa Feni rose kamu ini Kak?" tanyanya jenaka.

Fanny mengerucutkan bibirnya.

"Astaghfirullah Kak!" kali ini Muna menggoyangkan bahu Fanny dan berteriak lagi membuat gadis itu terjengit.

"Apa Ih, Bun-bun," balasnya jadi kaget lagi.

"Bunda kaget liat Kakak rajin, hehehe." Muna menyengir lebar sambil menjawil pipi anaknya.

Kedua alisnya menyatu, "Bun-bun kan yang nyuruh Fanny ngerjain ini?"

"Ah, masa sih? Nggak tuh."

"Bun-bun lupa kali. Nggak cuma nyapu kok. Kan cuci piring juga yang banyak banget tuh. Semuanya udah Fanny beresin loh Bun-bun. Fae yang sampein ke Fanny tadi suruh beberes."

Amare (TAMAT) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang