Copyright © 2020 by Viona Angelica
Sudah dua mingguan ini aku tidak punya teman sebangku.
Joshua, yang seharusnya duduk di sampingku, dipaksa Sam untuk duduk dengannya lantaran ia butuh teman mengobrol agar tidak ketiduran di kelas dan dimarahi guru lagi. Tentu saja, daripada mendengarkan ocehan Sam yang tidak ada hentinya, kami memilih mengalah dan menuruti keinginannya. Nahasnya, aku tidak punya teman akrab selain Joshua setelah kejadian di kamar Kak April yang mengakibatkan Kesha menjauhiku selamanya. Dan karena kursi di kelas memang lebih daripada muridnya, aku selalu duduk sendirian di pojok belakang kelas.
Tapi hari ini, Andrea tiba-tiba duduk di sampingku.
"Gue duduk di sini, ya? Hari ini Mona nggak masuk, males banget kalo harus duduk sendirian." katanya ramah.
Aku hanya bisa mengangguk pelan saking terkejutnya.
Andrea Sylviana juga merupakan anggota cheerleaders, dan semua orang tahu sendiri sebagaimana hebohnya peristiwa pem-bully-an Rosaline di kamar Kak April oleh para anggota cheers. Dan sekarang salah satu anggotanya ada di sini, duduk di sampingku dengan tampang tanpa dosa. Memang sih, Andrea yang paling baik di antara predator-predator berkedok manusia itu. Dia juga tidak ikut terlibat dalam kejadian mengerikan waktu itu.
Tapi, bukankah duduk di sini akan membawa masalah untuk kami berdua?
Aku melirik Kesha, mantan sahabatku yang kini sudah tersenyum sinis ke arah kami berdua. Begitu melihat wajah sinis itu, keringat dingin langsung mengucur di tengkukku. Apa jangan-jangan Andrea punya rencana terselubung?
"Eh." panggil Andrea membuyarkan lamunanku.
Aku spontan menoleh ke arahnya dan memaksakan seulas senyum yang amat canggung, "Ya?"
"Menurut lo, aneh nggak sih, serangkaian peristiwa ini. Maksud gue percobaan pembunuhan yang dimulai sembilan tahun lalu. Kayaknya kalo nggak salah, sempet berhenti setahun, kan. Terus habis berhenti setahun itu... Malah jadi muncul sistem tumbal tahunan." tanya Andrea, membuatku semakin terhenyak.
Aku hanya bisa menatapnya heran. Kenapa dia tiba-tiba mengangkat topik itu? Padahal biasanya anak-anak menghindari membicarakan topik sensitif tersebut. Apa jangan-jangan dia mendengar soal kami menyelidiki kasus itu dan jadi kepo?
"Gosipnya, pelakunya Willy, ya?" tanyanya.
Aku terdiam. Aku adalah satu dari beberapa orang yang mengetahui bahwa almarhum Willy menyukai Andrea selama setahun belakangan. Memang, selama ini, rasa suka itu bertepuk sebelah tangan. Tetapi, aku baru kepikiran, pasti rasanya aneh sebagai Andrea; seseorang yang menyukaimu tiba-tiba saja meninggal secara misterius. Tambahan lagi, beredar gosip bahwa orang itu adalah psikopat berdarah dingin.
"I-iya, gosipnya gitu, ya." sahutku gelagapan.
"Kalo bener begitu, dia yang selama ini nerorin anak-anak? Kok bisa, ya?" tanyanya lagi.
"Katanya, sih, dendam sama Pak Stenley, tapi gue sendiri nggak tahu, sih, bener nggaknya. Yang jelas, pasti ada backing-an dia yang belum diketahui identitasnya."
Andrea menatapku dengan mata melotot dan ekspresi terkejut, lalu menggeleng. "Gue nggak paham, kok bisa ya orang sekejem itu. Menurut lo, aneh nggak, sih, kematian Willy? Apa jangan-jangan, itu bukan kecelakaan, tapi... pembunuhan?"
"Wah," aku tersenyum canggung, "Nggak berani bilang, kalo itu."
"Sedih juga, ya..." Andrea bergumam mengambang, "Nggak ada yang tahu kebenarannya."
Aku hanya bisa menatap lurus ke arahnya sambil manggut-manggut, bingung harus mengatakan apa. Sebenarnya, aku tahu persis penyebab kematian Willy. Hanya saja, Pak Stenley sudah mewanti-wanti agar kami, yang hadir di tempat pada saat itu, ikut membangun kebohongan bahwa kejadian itu adalah kecelakaan. Aku tidak berani melawan perintah itu.
"Tapi yang lebih aneh, kita nggak, sih? Maksud gue, bahkan kita sebagai temen-temen Willy, Rey, Felli juga, masa masih bisa ngelanjutin pelajaran kayak gini? Gue merasa semua ini aneh." Andrea menyambung lagi.
"Iya, sih. Menurut gue juga aneh. Kalau boleh jujur, sebenernya gue belum bisa move on dari kejadian itu, sih. Apalagi biasanya Willy selalu bikin onar di sekolah dan bikin rame." sahutku.
Apalagi mengingat Kesha, mantan sahabatku, bisa jadi sosok di balik Topeng Putih kedua.
"Ya, kan? Aneh aja, gitu, kalo liat orang-orang melanjutkan hidupnya seakan nggak terjadi apa-apa. Feli, Rey, Willy, mereka nggak lagi melanjutkan sekolah kayak kita gini, loh. Kok bisa sih mereka nggak merasa aneh. Kelas jadi sepi, kayak kuburan aja suasananya."
"Mungkin mereka ngerasa gitu, cuma nggak nunjukin aja. Kayak kita. Mungkin kalo lo nggak ngomong gini ke gue, gue juga pasti mikir lo nggak merasa aneh akan semua ini, kan? Begitu juga sebaliknya."
"Iya juga sih. Tapi mungkin ada juga lho orang-orang yang dingin gitu. Kayak Gwen?"
"Ya mungkin dia juga merasa gitu, sih, cuma dia nutupin ekspresinya jauh lebih tertutup dari yang kita lakuin. Contohnya kembaran lo, gue lihat dia jarang punya ekspresi juga nggak, sih? Hampir sebelas-dua belas sama Gwen diemnya, tapi untung aja dia nggak suka ngancem-ngancem kayak Gwen."
Andrea tertawa kecil mendengar kalimatku, "Bener juga, sih. Alexa memang tertutup sama orang-orang. Entah kenapa kita kembar identik gini tapi sifatnya bisa beda total. Tapi sebagai kembarannya nih, gue mau ngasih tau kalian, meskipun wajah Alexa itu datar banget kayak kanebo kering, dia sebenernya kakak yang baik, kok."
"Iya, kah?"
Andrea tersenyum sambil mengangguk senang.
----------
KAMU SEDANG MEMBACA
Mystery of the Orphanage: Curse of the Suicide Game
Mystery / ThrillerSosok psikopat di balik topeng putih yang menjadi momok siswa-siswi panti asuhan masih berkeliaran. Namun, tim detektif amatir IMS (Infinite Mystery Seeker), yang beranggotakan Alice, Catherine, Bryan, Andrew, Joshua, Samuel, Rosaline, dan Gwen, bel...