Copyright © 2020 by Cindy Handoko
Aku nggak bisa tidur.
Sialan, memang, Topeng Monyet. Karena permainan gila yang disiapkannya untuk kami, aku jadi kehilangan waktu istirahatku yang berharga lantaran ketakutan setengah mati. Sepanjang malam, aku hanya membolak-balikkan tubuh di atas kasur, sampai Jeffrey melempariku dengan guling sambil berseru, "Diem, berisik!" dan membuatku langsung berusaha membujurkan badan sekaku mungkin di atas kasur hingga matahari terbit. Akibatnya, saat pagi tiba, badanku terasa pegal setengah mati, dan aku tambah ketakutan lagi.
Apakah Topeng Monyet akan memanggang kami hidup-hidup hari ini?
Lagipula, memangnya, di mana final quest permainan gila itu bakal diadakan? Sampai sekarang, kami belum diberitahu mengenai lokasinya, tuh. Padahal, ini sudah jam tujuh pagi.
Tring...
Kampret. Jadi, sekarang, dia bisa membaca pikiranku, ya? Apa Topeng Monyet ini memakai ilmu hitam? Curang banget. Kalau begitu, bagaimana caranya kami bisa menang? Memangnya Monster Gwen saja cukup sebagai penangkal?
Sambil bersungut-sungut, aku membuka pesan baru dari Topeng Monyet itu.
'Situs konstruksi belakang mal. Jam 9. Fair play: tidak ada CCTV:) Semua orang harus datang, ya. See you!'
Aku mencibir dalam hati. Tentu saja dia akan memilih tempat paling sepi dan terbengkalai yang bisa dipikirkannya; klasik film horor. Kenapa, sih, orang-orang jahat nggak kreatif semua? Apa bagusnya tempat itu? Cuma banyak pilar tinggi yang bisa dipakai bersembunyi, banyak pecahan kaca dan batu bata yang bisa dijadikan senjata darurat, berbentuk kayak labirin bertingkat, nggak ada koneksi internet, nggak ada yang bisa mendengar kalau ada teriakan...
Nggak jadi, deh. Seram banget kalau dipikir-pikir. Kurang ajar, dia.
Sambil menggigil, aku menyelinap keluar kamar dan mandi secepat mungkin. Saat selesai, aku berpapasan dengan Monster Andrew, yang baru saja hendak masuk ke kamar mandi. "Lelet, lo," cibirku, yang langsung dibalas dengan lirikan maut. Aku buru-buru mengalihkan pandangan. "M-maksudnya, cepet dikit, bisa? Jalan ke sana jauh, loh."
Setelah mengatakan itu, aku buru-buru ngacir pergi, kembali ke kamar untuk mengembalikan peralatan mandi. Kusahut senter kecil milikku dan kukantongi untuk berjaga-jaga, lalu segera berangkat. Aku adalah yang pertama tiba di toko kelontong dekat sekolah, yang merupakan tempat janjian berkumpul yang telah ditetapkan Bryan kemarin. Saat tiba, toko itu bahkan belum buka. Hebat, batinku, Aku memang paling disiplin.
Baru saja aku berpikir demikian, Bryan tiba, disusul Monster Andrew, yang sepertinya nggak mandi dengan bersih karena cepat banget (apa semua monster memang mandinya cuma kecipak-kecipuk di air saja, ya?), lalu Monster Gwen. Saat toko sudah mulai buka, Alice baru datang. Nanas Kelengkeng, tentu saja, adalah yang paling lelet dan tiba paling akhir.
"Kita berdua-dua, di sananya," Bryan mengumumkan, "Gue sama Alice. Sam sama—"
"Joshua," sahutku langsung, "Gue sama Joshua, dong."
"Gue yang sama Joshua," Monster Gwen menyela, membuatku langsung berjengit syok. "Kalo si Bocah yang sama Joshua, jatuhnya kucing-anjingan melulu; kebanyakan berisik. Bisa-bisa, Topeng Putih nangkep mereka duluan."
"Eh, tapi, masa gue sama Mon—Andrew, sih?" protesku begitu menyadari siapa yang tersisa. "Lo nggak takut, gue malah teriak-teriak disiksa And—"
"Ya udah. Lo sama gue, ya?" Gwen memotong sambil menyeringai membunuh.
Aku langsung memekik ngeri. "Eh, nggak, ding! Nggak jadi! Gue sama Andrew akur, kok, kayak kakak-adik! Ya, nggak, Ndrew?"
Monster Andrew menoyor kepalaku dengan kurang ajar. "Lo berisik sekali lagi, gue tinggal. Biar aja, lo ditemuin sama Sarung Wadimor."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mystery of the Orphanage: Curse of the Suicide Game
Mistério / SuspenseSosok psikopat di balik topeng putih yang menjadi momok siswa-siswi panti asuhan masih berkeliaran. Namun, tim detektif amatir IMS (Infinite Mystery Seeker), yang beranggotakan Alice, Catherine, Bryan, Andrew, Joshua, Samuel, Rosaline, dan Gwen, bel...