09. Alice

95 18 0
                                    

Copyright © 2020 by Viona Angelica

"Kecelakaan!?" Suara pria menggema dari arah tangga lantai empat.

Dinding asrama kami memang setipis itu. Apalagi, kamarku terletak tepat di sebelah tangga naik dan turun lantai VIP. Seringkali, aku mendengar banyak percakapan yang seharusnya tidak kudengar, seperti percakapan kakak kelas pemimpin Bryan's Fansclub ketika membahas bagaimana kerennya Bryan saat bermain basket dan bagaimana ia beberapa kali melihat abs cowok itu dan bagaimana ia memimpikan—Oke, sepertinya lanjutannya tidak perlu didengar oleh orang lain lagi karena terlalu vulgar.

"Bagaimana bisa anak itu kecelakaan di saat karantina begini? Ditambah lagi, luka tusuk?" sambung suara itu, terdengar sangat panik.

Karantina?

Bukankah satu-satunya orang yang sedang dikarantina... adalah Catherine?

Percakapan itu mengusik benakku, membuatku spontan merapat ke dinding untuk menguping lebih lanjut. Jika didengar dari suaranya yang tidak familier di telingaku, sepertinya ia bukan siswa kelas sebelas, penghuni lantai VIP, atau guru yang mengajarku. Jika dia turun dari lantai lima yang hanya berisi kantor Pak Stenley dan asrama guru, berarti... mungkinkah seorang guru yang tidak pernah mengajarku?

"Apakah dia di rumah sakit yang layak, Pak? Setahu saya, ada rumah sakit bagus di dekat sana, namanya Rumah Sakit Husada sepertinya." balasnya lagi, sepertinya tengah berbicara melalui telepon. "Oh, dia di sana? Baguslah. Bagaimana kondisinya?"

Suaranya menghilang setelah itu. Rasa penasaran membuatku buru-buru keluar dari kamar dan turun dari tangga. Sosok yang kukenali sebagai wakil kepala sekolah, Pak Joseph, saat ini sedang berlari menuruni tangga dengan amat tergesa-gesa sambil memegangi ponsel di telinganya. Keringat memenuhi dahinya, dan raut wajahnya tampak benar-benar panik. Aku berusaha menjajari langkahnya senatural mungkin. Untungnya, sepertinya rasa panik membuatnya tidak menyadari hal itu.

"Tidak bisa dihubungi?" suaranya terdengar lagi. "Aduh, saya baru ingat. Beliau ada tugas dinas dadakan tadi pagi. Baik, kalau begitu tolong Bapak tunggu di sana. Saya akan segera menyusul menggantikan Bapak." sahut Pak Joseph tanpa mengurangi kecepatan larinya.

"Iya. Semoga saja dia tidak apa-apa, dan semoga pihak berwajib segera menyelidiki kasus aneh ini. Lagipula, Pak Stenley yang biasa membungkam pihak berwenang sedang sibuk tugas dinas." sambungnya. "Iya, saya juga berpikir begitu. Sebenarnya saya juga sudah berulang kali membujuk beliau untuk berhenti membungkam pihak berwajib karena situasinya sudah separah ini, tapi belum berhasil." sahutnya. "Mungkin setelah tugas beliau selesai. Ya. Bapak tunggu, ya."

Setelah itu, Pak Joseph menutup telepon dan berlari menuju parkiran guru.

Aku tidak benar-benar mengikuti langkahnya lagi karena tidak ingin ketahuan sedang menguntit. Tapi kalimat yang ia katakan barusan benar-benar membuatku terusik. Jadi benar selama ini bahwa Pak Stenley berusaha membungkam pihak berwajib dan menghalangi penyelidikan. Awalnya aku sempat tidak percaya, kukira pihak kepolisian lah yang memutuskan kasus sebagai kecelakaan, karena memang kejadiannya tidak terjadi dalam waktu dekat, mestinya mereka tidak ingat dengan perkara sebelumya, jadi aku dan yang lain masih tidak yakin ini adalah ulah Pak Stenley. Tapi percakapan barusan....

IMS. Aku harus memberitahu mereka soal ini secepatnya.

***

Tidak butuh waktu lama bagiku untuk mengumpulkan teman-temanku—kecuali Gwen, tentu saja—kembali di dalam kamar, yang sepertinya sudah menjadi markas resmi IMS. (Yah, sebenarnya bukan hanya aku yang mengumpulkan mereka, sih. Aku mendapatkan sedikit bantuan dari Bryan yang langsung datang di tengah latihan basketnya dan menelepon semua orang agar berkumpul ke sini.)

Mystery of the Orphanage: Curse of the Suicide GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang