Copyright © 2020 by Cindy Handoko
Malam begitu larut. Satu-satunya bunyi yang terdengar di tengah keheningan yang mencekam adalah suara tikus yang berdecit bersahutan di loteng dan apa yang terdengar seperti bunyi angin dari jendela yang kubiarkan terbuka. Seperti malam-malam sebelumnya, mataku menolak untuk dipejamkan—terlalu terpaku pada langit-langit, seperti pikiranku yang terpaku pada kenyataan-kenyataan pahit.
Aku mengalihkan pandangan ke arah jam dinding yang terpasang di seberang tempat tidur. Lewat pukul dua pagi. Aku hanya punya waktu kurang dari tiga jam untuk mengistirahatkan tubuh.
Tidur, aku memerintah diri sendiri. Cepat tidur... tidur...
Selama beberapa detik, hanya suara di dalam kepalaku yang mendominasi kesunyian malam. Kemudian, perlahan, kusadari bahwa ada bunyi lain yang sangat pelan, tetapi mengundang perhatian.
Di sana; tepat di luar ruangan ini.
Tap, tap, tap.
Aku berjengit dan langsung melompat ke posisi duduk. Seperti sudah terlatih, telingaku otomatis menajamkan pendengaran.
Siapa itu?
Mataku kembali menatap jam dinding sekilas. Benar pukul dua pagi. Tidak mungkin ada peserta yang masih berkeliaran jam segini. Tanpa sadar, tanganku meremas selimut selagi jantungku mulai berdebar kencang.
Aku berani bersumpah sebuah pekikan kecil terlontar dari mulutku saat tiba-tiba, ponsel yang kuletakkan di nakas samping tempat tidur berbunyi. Tanganku buru-buru meraih benda itu dan menatap layarnya dengan penuh antisipasi.
1 new message
Bahuku langsung merosot lemas.
Aku bukannya tidak tahu ini akan terjadi. Bahkan, ini sudah bukan pertama atau kedua kalinya aku dicecar dengan teror serupa. Tetapi, sebelum aku menerima pesan ini, setidaknya masih ada secercah harapan kosong bahwa bunyi langkah kaki di luar mungkin hanya milik seorang peserta yang tidak bisa tidur atau petugas yang sedang berjaga malam.
Aku tidak yakin apakah aku ingin membaca isi pesan itu, tetapi jariku tetap menekan tombol buka, dan sederet kalimat terpampang di layar.
'Nggak bisa tidur, ya? Coba lihat ke luar jendela.'
Sebuah jeritan histeris nyaris meluncur dari mulutku begitu otakku berhasil memahami maksud dari kalimat kedua dalam pesan itu.
Apakah ini saatnya?
Apakah aku akan mati sekarang?
Jawabannya kudapat tak lama setelah itu: mataku menangkap sekelebat warna hitam dari luar jendela, dan seakan dihipnotis, aku menemukan diriku bertatap muka dengan sosok bertopeng putih yang familier. Wajahnya tertutup bayang-bayang dari topeng yang melekat sempurna, bak dipahat oleh sinar rembulan yang malam ini terasa mengancam. Namun, aku yakin, sepasang mata haus darah itu sedang menatap lurus ke arahku.
Bunyi langkah kaki itu bukan berasal dari luar pintu, melainkan dari balkon... sebuah penyadaran yang terlambat menyambarku bagaikan petir di siang bolong.
Saat sosok itu melompat masuk melalui jendela, jeritan itu sungguh-sungguh terdengar, membelah udara malam dengan begitu nyaringnya...
KAMU SEDANG MEMBACA
Mystery of the Orphanage: Curse of the Suicide Game
Misterio / SuspensoSosok psikopat di balik topeng putih yang menjadi momok siswa-siswi panti asuhan masih berkeliaran. Namun, tim detektif amatir IMS (Infinite Mystery Seeker), yang beranggotakan Alice, Catherine, Bryan, Andrew, Joshua, Samuel, Rosaline, dan Gwen, bel...