Copyright © 2021 by Cindy Handoko
8 tahun yang lalu....
Alexander, 9 tahun
"Papi, Papi!" aku berseru dengan semangat, menerjang pintu masuk rumah sambil mengacungkan map besar di tanganku. "Pi, Alex ranking satu, loh!"
Hening. Aku menatap ke seisi rumah, tetapi Papi, yang biasanya selalu menungguku pulang di ruang tamu dengan senyum lebar, tidak nampak di mana pun. Apa Papi masih ada urusan ya? Apa Papi sudah mulai kerja di kantor lagi? Sejak beberapa bulan yang lalu, Papi memang bekerja di rumah karena katanya ingin menghabiskan waktu lebih banyak bersamaku. Tetapi, hari ini, Papi memintaku mengambil rapor sendiri karena ada keperluan mendesak.
"Alex." Aku membelalak girang mendengar suara Papi. Pintu kamar dibuka dan sosok Papi keluar dari baliknya. Tetapi, ada yang aneh. Tidak biasanya Papi sudah berpakaian rapi seperti ini. Dan lagi, ekspresi Papi kelihatan tegang sekali... Sebenarnya ada apa?
"Pi, Alex dapat ranking satu..." ulangku ragu-ragu.
Papi tersenyum lebar, walaupun kelihatannya sedikit berat. "Bagus!" pujinya. "Papi bangga sama kamu."
Aku ikut tersenyum. Awalnya, aku semangat sekali mengabarkan ini kepada Papi karena ia berjanji akan membelikanku mainan helikopter yang sangat kuinginkan kalau aku berhasil mendapat ranking satu. Tetapi, sepertinya ini bukan saat yang tepat. Sebenarnya ada apa?
"Alex, sekarang kamu siap-siap, ya," kata Papi. "Papi mau ajak kamu pergi sebentar."
"Pergi ke mana, Pi?"
"Hm... kamu ikut aja. Kita mau ke beberapa tempat," Papi menjawab. "Nanti pulangnya, kita makan pasta, oke? Buat merayakan anak Papi yang pintar dapat ranking satu. Sekarang kamu siap-siap, ya? Papi tunggu di garasi."
Aku mengangguk dan segera bersiap-siap sesuai perintah Papi. Dalam hati, sebenarnya aku merasa semua ini aneh. Papi jarang sekali mengajakku keluar di hari biasa. Saat weekend pun, kami tidak selalu pergi keluar, paling-paling hanya lari pagi di sekeliling kompleks atau bermain basket bersama di lapangan dekat rumah. Tapi, kurasa aku akan melihat sendiri ke mana aku akan dibawa pergi.
Saat aku sudah siap dan menyusul Papi ke garasi, aku menyadari bahwa motor yang didudukinya bukan motor kami yang biasa. "Woah... Papi ganti motor?" tanyaku. "Kok, bagus?"
Papi tersenyum kecil. "Untuk sementara aja," jawabnya. "Yuk, naik."
Aku menurut tanpa bertanya-tanya dan naik ke atas motor. Sepanjang perjalanan, aku tidak bisa menebak kami akan pergi ke mana karena aku buta jalan. Memang, aku sangat jarang keluar-keluar, sehingga satu-satunya rute yang kuhafal hanyalah dari rumah ke sekolah dan dari rumah ke supermarket. Tetapi, dari semua tempat yang kutebak dalam hati, tempat tujuan pertama kami benar-benar di luar dugaanku.
"Rumah Om Vito?" tanyaku kaget saat Papi menghentikan motor di depan rumah yang sudah bertahun-tahun tidak kukunjungi. Om Vito adalah kakak Papi satu-satunya, tetapi entah mengapa, dia tidak menyukai kami. Aku ingat terakhir kali kami berkunjung, ia mengusir Papi dan aku. Setiap kali aku menanyakan alasannya, Papi hanya menjawab 'Biasa lah, hal seperti itu. Yang penting kamu ingat-ingat, jangan sampai kamu jadi orang seperti Om Vito kalau besar nanti, ya? Kita harus menghargai semua orang dan saling memaafkan. Pokoknya, apa pun yang terjadi, kamu harus jadi orang yang lebih besar.' Saat pemakaman nenekku pun, Om Vito bahkan tidak mau memandang kami berdua, dan sekarang, tiba-tiba Papi mengajakku ke rumahnya.
"Kamu tunggu di sini, ya, Alex," Papi berkata. "Papi nggak akan lama."
"Tapi, Pi—"
"Jangan ke mana-mana, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Mystery of the Orphanage: Curse of the Suicide Game
Misteri / ThrillerSosok psikopat di balik topeng putih yang menjadi momok siswa-siswi panti asuhan masih berkeliaran. Namun, tim detektif amatir IMS (Infinite Mystery Seeker), yang beranggotakan Alice, Catherine, Bryan, Andrew, Joshua, Samuel, Rosaline, dan Gwen, bel...