Copyright © 2020 by Viona Angelica
Rosaline sudah siuman.
Ia tampak sangat kacau dalam baju pasien berwarna putih itu. Perban dililitkan pada beberapa bagian tubuhnya termasuk dahinya yang terluka. Bibirnya pucat pasi, dan di bawah kedua matanya digelayuti kantong super tebal menandakan ia tidak tidur selama berhari-hari. Saat aku menemukannya, para korban tergeletak begitu saja di dalam ruangan berbau pesing (Awalnya kupikir itu adalah bau khas bawah tanah, namun aku baru sadar kalau para korban bahkan tidak diizinkan untuk ke kamar mandi). Untung saja kini mereka sudah selamat.
"Lo udah mendingan?" tanyaku sambil menggenggam tangannya yang sedingin es dan seputih kertas.
Ia hanya menatapku sambil menurunkan alis, matanya berkaca-kaca dan giginya dikatupkan rapat-rapat untuk menahan air mata jatuh dari pelupuk matanya yang sudah kemerahan. Menyadari aku sudah salah bicara, aku buru-buru menyambung sambil memeluknya, "Sorry, lo harus ngalamin semua itu. Pasti berat, deh."
Tubuhnya bergetar dan melemas dalam pelukanku. Dapat kurasakan dua tetes air mata hangat jatuh mengenai bahuku saat itu juga.
"Gue udah mendingan kok." sahutnya berbohong sambil memelukku balik sejenak lalu melepaskan pelukannya.
Kami semua hanya bisa menatap ke arahnya dengan penuh rasa iba.
"Em... Gwen mana?" tanyanya setelah menghitung jumlah orang di dalam ruangan satu per satu.
"Gwen... juga luka. Gue juga perlu cerita soal ini sih, tapi lo dulu aja, Sa, lo mau cerita soal apa?" sahut Joshua sambil menatap Rosaline.
"Jangan, deh. Lo dulu aja... Kayaknya gue masih perlu persiapan mental buat cerita soal kejadian itu ke kalian. Buktinya aja cuma ditanyain apa gue baik-baik aja, langsung kambuh lagi rasa sesak di dada gue." jelasnya.
Joshua mengangguk penuh pengertian. "Ya udah, gue dulu. Jadi, waktu kita semua disuruh Topeng Putih ke lokasi konstruksi, gue sama Gwen sengaja mau nyamar jadi Topeng Putih, pake topeng yang sempet gue ambil dari bawah tanah."
"Lo ngambil topeng dari ruang bawah tanah?" Bryan langsung memotong sambil membelalak tak percaya.
"Iya? Kenapa?" tanya Joshua kebingungan.
"Topeng itu, kalo lo sama Gwen nggak megang-megang pake sidik jari kalian, harusnya bisa jadi bukti buat nangkep Topeng Putih, loh." sahut Bryan sambil menepuk jidat.
"Nggak, sih." sanggah Joshua. "Sesuai pengamatan gue, waktu di area konstruksi, mereka selalu make sarung tangan buat ngilangin bukti sidik jari yang ada di barang-barang yang mereka udah sentuh. Jadi, agak nggak mungkin banget bakal ada sidik jari di sana."
"Tapi tes DNA bisa juga pake rambut, woy. Siapa tahu ada rambut yang nyangkut di talinya atau gimana gitu?" timpal Andrew.
"Itu bisa aja, sih. Tapi, toh, sekarang topengnya udah dibawa sama Pak Owen, kok. Abis kejadian langsung gue kasihin buat barang bukti dan sebagainya. Lagian, kalo mau ngomongin rambut, tanpa barang itu pun, harusnya di bawah tanah bakal ada jejak, kan?" jelas Joshua.
"Nggak." Rosaline tiba-tiba angkat bicara, namun pandangannya masih lurus ke depan dan tampak kosong—entah ia memang sedang menanggapi percakapan kami atau sedang larut dalam pikirannya sendiri. "Mereka nggak ninggalin jejak segampang itu. Waktu gue disekap... gue denger mereka kayak ngomongin jangan sampe ninggalin jejak."
"Tapi waktu gue masuk ke sana ada banyak bungkus makanan sisa sama alat-alat galian yang ditinggal, lho? Itu bukannya bukti, ya?" jawab Sam.
"Gue nggak tahu juga, sih. Tapi gue berani bertaruh delapan puluh persen polisi nggak akan nemuin apa-apa di ruang itu selain DNA para korban. Soalnya... Mereka sering nyuruh kita megang ini-itu buat ninggalin sidik jari di sana." jelas Rosaline.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mystery of the Orphanage: Curse of the Suicide Game
Mistério / SuspenseSosok psikopat di balik topeng putih yang menjadi momok siswa-siswi panti asuhan masih berkeliaran. Namun, tim detektif amatir IMS (Infinite Mystery Seeker), yang beranggotakan Alice, Catherine, Bryan, Andrew, Joshua, Samuel, Rosaline, dan Gwen, bel...