Copyright © 2020 by Cindy Handoko
"Wow," Gwen berkata sambil memandangku dari ujung kepala hingga ujung kaki, "Topeng Putih beneran, ya? Boleh aku bunuh?"
Aku menghela napas berat. Saat ini, aku sudah mengenakan jubah hitam yang sedikit terlalu pendek di tubuhku, lengkap dengan tudung yang kupakai untuk menutupi potongan rambutku. Aku tidak tahu apakah merupakan pilihan yang tepat untuk berganti pakaian seawal ini, tetapi aku tidak mau mengambil risiko saat permainan sudah dimulai—yang, omong-omong, tinggal lima menit lagi.
"Menarik, menarik. Tapi, ikuti dulu peraturannya, dong," balasku asal, menirukan Topeng Putih. Lalu, merasa ini bukan waktu yang tepat untuk bercanda, aku menatap Gwen lurus-lurus. "Kamu yakin rencana ini bakal berhasil?"
"Nggak, sih," balasnya acuh, "Tapi, nggak ada salahnya mencoba. Siapa tahu, dugaanku bener. Kalo salah pun, kesempatan bagus buat menyelundup ke markas itu lagi—ya, kan?"
Aku tidak suka ide itu. "Yah..." balasku terpaksa, "Iya, sih."
"Oke," Gwen tersenyum tipis, "Kayaknya, lebih baik aku keluar sekarang."
"Keluar dari mana, tapi?" tanyaku, "Kita, kan, nggak tahu Topeng Putih ada di mana. Gimana kalo papasan sama dia di luar?"
"Nggak mungkin dia masuk dari luar," Gwen membalas percaya diri, "Dia pasti expect ada yang berjaga di pintu, dong, kalo udah ngumumin kedatangannya sejelas itu. Justru, saat ini, pintu masuk adalah spot paling aman."
Aku menatap Gwen sangsi. Semua kata yang hendak kukeluarkan sepertinya tersangkut di tenggorokan, dan yang tersisa hanya keraguan. Apakah aku boleh melepaskannya sendirian begitu saja?
"Bye, Jo," ia melambaikan tangan dengan santai, sama sekali tidak tampak seperti seseorang yang akan berjalan menuju markas pembunuh secara sukarela. Lagi-lagi, firasatku buruk, dan aku tidak suka itu.
"Bentar, Gwen," aku mencekal tangannya saat ia sudah berbalik, berniat keluar dari ruangan tempat kami berada saat ini. Gwen berhenti melangkah dan menatapku kebingungan.
Apa, sih, batinku, Aku mau bilang apa?
Akhirnya, aku hanya mendekat dan mengulurkan tangan untuk menarik hoodie jaket yang dikenakannya, sehingga wajahnya semakin tertutup bayangan. Lalu, setelah menatapnya sejenak, aku menepuk kepalanya pelan. "Be safe," ujarku, "Langsung telepon kalo ada apa-apa. I'll drop everything else and come."
Aku tidak bisa melihat wajah Gwen dengan jelas, tetapi aku hampir yakin ia baru saja mengalihkan pandangan dengan salah tingkah. "Iya," balasnya, "You too."
Setelah mengatakan itu, ia berbalik dan melangkah keluar dengan tergesa-gesa, meninggalkanku menatap punggungnya yang tegang menjauh, hingga akhirnya lenyap dari pandangan. Aku mendesah berat. Rasanya aku tidak siap untuk semua ini. Tetapi, seperti yang seharusnya, tidak butuh waktu lama bagi ponselku, yang sudah diatur dalam mode vibrate, untuk bergetar, menandakan adanya sebuah pesan masuk.
'Sandera #1 sudah dilepas!:) Tik tok tik tok... 10 menit lagi, kita akan bertemu'
Aku duduk bersandar pada tembok sambil membaca ulang pesan itu dalam hati. Sepuluh menit lagi. Itu berarti, aku masih harus berdiam diri di sini selama itu, karena Topeng Putih tidak seharusnya berkeliaran sebelum waktu yang ditentukan. Memang, kecil kemungkinannya untuk bertemu dengan anggota yang lain di daerah ini. Tetapi, aku tidak berani mengambil risiko.
Ruangan tempatku berada terletak di lantai satu. Secara keseluruhan, lantai ini adalah yang paling tertata karena jelas-jelas dibangun mendahului yang lain. Bahkan, tidak ada sebanyak itu gunungan pasir yang tampak sejauh mata memandang. Walau begitu, hal itu tidak membuat tempat persembunyian di sini lebih sedikit dibandingkan lantai lain, karena ruangan-ruangannya sudah setengah jadi, otomatis menciptakan lebih banyak lokasi strategis. Ruangan ini, misalnya—yang tertutup dari luar dengan hampir sempurna, hanya menyisakan bingkai daun pintu yang belum dipasang—benar-benar tempat yang tepat untuk bersembunyi dan menunggu.
Selama sepuluh menit penuh, aku berdiam di tempat sambil memikirkan bagaimana caranya aku bisa mengorek informasi dari Topeng Putih. Apakah aku bisa langsung mengajaknya bicara begitu saja kalau kami bertemu? Bukankah aku akan mengekspos diri sendiri dengan suaraku? Bagaimana para Topeng Putih berkomunikasi? Apakah mereka bahkan mengizinkan adanya percakapan saat beraksi? Lalu, aku dan Gwen, kan, seharusnya kedapatan bagian mencari sandera di lantai satu dan dua. Kalau aku terlalu fokus mencari Topeng Putih, bagaimana aku bisa sekaligus mencari sandera juga?
Rencana ini terlalu tidak matang.
Aku melirik layar ponsel untuk memeriksa jam. Seharusnya, Topeng Putih sudah masuk ke dalam bangunan saat ini. Aku membulatkan tekad, lalu memasukkan ponsel ke dalam saku jubah dan memungut topeng yang kugeletakkan begitu saja di lantai. Rasanya aneh sekali saat aku mulai memasang topeng mengerikan itu, menutupi wajahku dengan sempurna—hampir-hampir seperti aku bisa membayangkan seperti apa rasanya datang ke sini untuk memburu, dan bukannya diburu.
Area di luar ruangan sunyi senyap sampai-sampai terasa menyeramkan. Walau hari masih pagi, hanya sedikit cahaya yang berhasil menembus masuk ke dalam bangunan. Mungkin itu jugalah sebabnya, banyak sekali bagian tembok yang berlumut dan berjamur, lengkap dengan bau apek yang mengikuti ke mana pun aku berjalan.
Aku berbelok ke kanan, melangkah masuk lebih jauh ke dalam bangunan, berusaha tidak menimbulkan suara. Hal pertama yang ingin kulakukan adalah memeriksa jendela menuju zona aman yang disebut-sebut oleh Topeng Putih. Berdasarkan logika, satu-satunya akses masuk ke zona itu adalah melalui lantai dasar, yaitu lantai ini—mungkin juga dari lantai dua, kalau kau sedikit lebih berani untuk melompat. Topeng Putih mungkin saja mau mengerjai kami dengan melepaskan sandera di zona aman, atau bahkan masuk dari sana—tempat yang dikiranya tidak akan kami periksa pertama kali.
Saat mencapai bagian belakang bangunan, aku menyusuri tembok, mencari-cari jendela yang dimaksud. Setelah beberapa saat, aku akhirnya menemukannya. Tetapi, sayangnya, tidak ada siapa-siapa di sana. Jendela itu cukup besar, tidak seperti bayanganku. Tetapi, untuk mengeluarkan sandera, tetap dibutuhkan minimal dua orang yang membantu. Itu karena, di luar jendela, masih ada pagar tinggi yang tergembok rapat, membatasi bangunan dengan zona aman yang sesungguhnya. Jika hendak keluar, pagar itu harus dipanjat, dan jika sandera yang harus diamankan berada dalam kondisi buruk...
Perkataan Topeng Putih di telepon terngiang kembali dalam benakku. 'Kondisinya... Well, dia bisa berjalan, kok.'
Sial, batinku, Bagaimana kalau aku yang menemukan sanderanya?
Biar bagaimana pun, aku sendirian. Kalau memanggil bantuan pun, belum tentu mereka akan datang secepat itu, mengingat struktur bangunan sangat rumit. Tambahan lagi, bagaimana aku bisa menjelaskan pada mereka mengenai kostumku? Bukankah aku seharusnya menghindari pertemuan dengan yang lain di saat-saat seperti ini?
Tap tap tap
Mataku terbelalak.
Suara langkah kaki seseorang.
Aku bergegas menyelipkan diri ke belakang pilar terdekat, sambil melongokkan kepala ke arah datangnya suara. Sayangnya, topeng yang kukenakan membuat jarak pandangku sedikit terbatas. Sejauh mataku bisa melihat, belum ada tanda-tanda orang yang muncul, dan bunyi langkah kaki yang kudengar tadi juga sudah berhenti secara tiba-tiba.
Apa aku salah dengar?
Nggak mungkin. Aku berani bersumpah suara itu benar-benar nyata. Siapa itu? Apakah itu Topeng Putih? Kenapa bunyi langkah kaki itu berhenti secepat aku mendengarnya, aku tidak mengerti. Apakah Topeng Putih menyadari keberadaanku dan saat ini juga sedang bersembunyi untuk bersiap menangkapku? Tetapi... aku, kan, menyamar sebagai rekannya.
Drrt...
Aku berjengit kaget saat merasakan sebuah getaran di pahaku. Buru-buru, aku meraih ponsel di saku jubah dan membuka pesan baru yang masuk. Alih-alih dari Topeng Putih, pesan itu datang dari Sam, yang seharusnya sedang berjaga di lantai lima dan enam bersama Andrew.
'Topeng Monyet di lt 5. S.O.S!!'
Aku mengerjap beberapa kali dan membaca ulang pesan itu. Topeng Putih di lantai lima?
Kalau begitu, mungkinkah langkah kaki yang kudengar tadi... milik sandera pertama?
----------
KAMU SEDANG MEMBACA
Mystery of the Orphanage: Curse of the Suicide Game
Misterio / SuspensoSosok psikopat di balik topeng putih yang menjadi momok siswa-siswi panti asuhan masih berkeliaran. Namun, tim detektif amatir IMS (Infinite Mystery Seeker), yang beranggotakan Alice, Catherine, Bryan, Andrew, Joshua, Samuel, Rosaline, dan Gwen, bel...